Beberapa bulan telah berlalu, kini, kami memasuki akhir tahun! Naik kelas iyey!
“Baiklah, itu saja untuk hari ini,” kata pak Klapper selesai mengajar beberapa minggu sebelum tes itu “Oh iya, bapak hanya mengingatkan saja ya, dua bulan ke depan adalah tes kenaikan kelas. Jadi, jangan hanya berdiam diri, dan bermain-main saja ya!”
Setelah itu, pak Klapper pergi dari kelas. Aku mendekati Nay sesaat sebelum dia keluar.
“Emm, Nay…” panggilku pelan.
Nay menoleh “Apa?” tanyanya pelan juga “Tumben suaramu kecil? Biasanya menggelegar.”
“Oh kamu sudah tidak marah?” kataku tersenyum.
“Hah? Marah kenapa?” tanyanya balik tanya.
“Oh tidak, soal undangan Workshop tempo dulu itu,” kataku.
Nay tersenyum “Ah enggak apa-apa kok,” katanya pelan “Sudahlah, yang sebelah situ enggak usah di bahas lagi, ok?”
Aku tersenyum “Ok,” kataku pendek sekali.
“Ya sudah, aku mau mengerjakan PR dulu, jadi sekarang buru-buru,” katanya lagi sambil berlalu “Daag!”
Aku melambaikan tanganku sebentar. Yah, untung saja hubunganku dengannya masih baik. Nah, waktunya ke Workshop ah!
“Baiklah, itu saja untuk hari ini,” kata pak Klapper selesai mengajar beberapa minggu sebelum tes itu “Oh iya, bapak hanya mengingatkan saja ya, dua bulan ke depan adalah tes kenaikan kelas. Jadi, jangan hanya berdiam diri, dan bermain-main saja ya!”
Setelah itu, pak Klapper pergi dari kelas. Aku mendekati Nay sesaat sebelum dia keluar.
“Emm, Nay…” panggilku pelan.
Nay menoleh “Apa?” tanyanya pelan juga “Tumben suaramu kecil? Biasanya menggelegar.”
“Oh kamu sudah tidak marah?” kataku tersenyum.
“Hah? Marah kenapa?” tanyanya balik tanya.
“Oh tidak, soal undangan Workshop tempo dulu itu,” kataku.
Nay tersenyum “Ah enggak apa-apa kok,” katanya pelan “Sudahlah, yang sebelah situ enggak usah di bahas lagi, ok?”
Aku tersenyum “Ok,” kataku pendek sekali.
“Ya sudah, aku mau mengerjakan PR dulu, jadi sekarang buru-buru,” katanya lagi sambil berlalu “Daag!”
Aku melambaikan tanganku sebentar. Yah, untung saja hubunganku dengannya masih baik. Nah, waktunya ke Workshop ah!
***
Sementara itu, di Workshop, Levin dan Duke sedang mencoba membuat sesuatu.
“Bleh, salah mungkin,” kata Duke sambil melihat cairannya “Memang harus seperti ini ya?”
“Masa?” tanya Levin sambil membaca kembali bukunya “Disini tertulis ‘cut into pieces…’ artinya dipotong hingga kecil-kecil kan?”
“Bukan!” seru Duke “Maksudnya itu dipotong besar-besar!”
Sementara mereka ribut, aku datang.
“Halo all!” sapaku “Sedang apa?”
“Membuat item!” seru Duke tanpa menoleh “Wak! Gagal lagi…”
Aku mendekati mereka “Kesinikan bukunya,” kataku sambil mengambil bukunya dari tangan Levin “Nah masalah kalian ada pada bagian mana?”
“Semuanya kakak,” kata Levin “Kami bingung gagal terus dari tadi…”
“Kakak?” kataku pelan “Oh yee, kalau begitu, mari kita buat dari awal.”
Kami lalu membuatnya dari awal. Sesuai panduan, aku menerjemahkannya. Sampai masalah tadi.
“Potong hingga bagian-bagian…” bacaku pelan-pelan.
“Fo, potongnya sebesar bagaimana?” tanya Duke “Kami tadi ribut di sekitar situ.”
“Ha? Sudah jelas kalimatnya ‘Cut into pieces until it become 4 pieces’ jelas empat bagian lah!” kataku. Duke dan Levin saling pandang.
“Oh begitu…” kata Levin pelan “Pantas saja…”
“…Gagal terus?” sambungku “Sebagai seorang Alchemist, kita harusnya membacanya hingga selesai, jangan setengah-setengah ok?”
Levin dan Duke garuk-garuk kepala. Kami lalu melanjutkan sintesis itu hingga hampir selesai.
“Whew, kok bisa jadi ya?” tanya Duke heran “Wah memang kalau tanpa buku panduan dia susah di andalkan.”
“Hei apa maksudnya dengan itu?” seruku “Aku juga kan berusaha keras!”
Levin berdiri “Eh Fo, bagaimana… hubunganmu dengan Nay?” tanya Levin “Sudah membaik?”
Aku terkejut “Hah? Tahu darimana?” tanyaku kaget.
“Ehm, dulu, ya aku tak sengaja mendengarnya,” kata Levin pelan “Soalnya, aku jadi merasa bersalah mengundangmu kesini hingga membuat Nay marah dan menubrukku di luar.”
Aku terdiam “Ah, sudah tak apa-apa kok,” kataku senang “Makasih deh sudah mengkhawatirkanku, tapi, masalah itu sudah beres!”
Levin tersenyum sedikit. Duke memandang kami dari jauh. Pelan-pelan, dia meninggalkan kami. Dia lalu memandang langit dari jendela sambil tersenyum. Aku dan Levin hanya diam menatapnya.
***
Beberapa minggu setelah itu, kami sudah menyelesaikan pelajaran kami. Jadi, kami libur hingga tes nanti!
Pagi itu, Levin terlambat sampai ke Workshop. “Ya ampun, aku keasyikan membuat enkripsi!” katanya sambil berlari “Apa ya kata teman-teman kalau aku terlambat?!”
Tapi ternyata, saat Levin tiba di Workshop, Duke hanya sendiri.
“Duke? Mana Foster?” tanya Levin setibanya disana “Dia terlambat?”
Duke menggeleng “Entahlah, sejak pagi, sejak di asrama, dia sudah hilang,” kata Duke sambil meletakkan peralatan labnya di meja.
“Lha? Tumben dia terlambat…” kata Levin pelan “Ada apa ya?”
Mereka diam sejenak “Levin, kita kan sudah menyelesaikan kelas kita,” kata Duke sambil berdiri “Bagaimana kalau kita berkeliling mencarinya?”
Levin tersenyum “Ide bagus!” katanya senang “Mari berkeliling! Kita mulai dari halaman kampus saja! Tempat favoritnya.”
Mereka berdua pun keluar dari Workshop itu. Lalu segera pergi mencari aku.
Pagi itu, Levin terlambat sampai ke Workshop. “Ya ampun, aku keasyikan membuat enkripsi!” katanya sambil berlari “Apa ya kata teman-teman kalau aku terlambat?!”
Tapi ternyata, saat Levin tiba di Workshop, Duke hanya sendiri.
“Duke? Mana Foster?” tanya Levin setibanya disana “Dia terlambat?”
Duke menggeleng “Entahlah, sejak pagi, sejak di asrama, dia sudah hilang,” kata Duke sambil meletakkan peralatan labnya di meja.
“Lha? Tumben dia terlambat…” kata Levin pelan “Ada apa ya?”
Mereka diam sejenak “Levin, kita kan sudah menyelesaikan kelas kita,” kata Duke sambil berdiri “Bagaimana kalau kita berkeliling mencarinya?”
Levin tersenyum “Ide bagus!” katanya senang “Mari berkeliling! Kita mulai dari halaman kampus saja! Tempat favoritnya.”
Mereka berdua pun keluar dari Workshop itu. Lalu segera pergi mencari aku.
***
Levin dan Duke berjalan-jalan sekitar halaman kampus. Mereka menanyai semua orang yang ada disana. Sampai, ada informasi yang mengejutkan.
“Kalian mencari Foster?” tanya Enkampf “Tadi pagi, dia di bawa ke UKS sepertinya…”
Levin dan Duke kaget. Mereka langsung berlarian menuju ke UKS. Mereka cepat-cepat menyusuri lorong. Dan tiba di UKS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Ooh, Duke, Levin!” Seruku di depan ruang UKS “Kalian kenapa? Kok ngos-ngosan? Abis olahraga ya?”
Duke dan Levin lebih kaget lagi melihatku segar begitu “Bukan begitu!” Seru Duke “Justru kami yang sedang khawatir tentang kamu!”
“Aduh bikin kaget saja…” kata Levin “Kamu enggak apa-apa kan?”
Aku terdiam “Maksud kalian apa?” tanyaku pelan “Ah sudah dulu deh, aku ada keperluan, bye!” lanjutku sambil berlari meninggalkan mereka.
Levin dan Duke saling pandang. Sikapku hari ini aneh sekali sepertinya.
“Hei, dia kan keluar dari UKS,” kata Levin “Tanya ke bu Paisley saja.”
Duke mengangguk “Boleh saja,” jawabnya pendek. Lalu mereka memasuki UKS.
“Kalian mencari Foster?” tanya Enkampf “Tadi pagi, dia di bawa ke UKS sepertinya…”
Levin dan Duke kaget. Mereka langsung berlarian menuju ke UKS. Mereka cepat-cepat menyusuri lorong. Dan tiba di UKS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Ooh, Duke, Levin!” Seruku di depan ruang UKS “Kalian kenapa? Kok ngos-ngosan? Abis olahraga ya?”
Duke dan Levin lebih kaget lagi melihatku segar begitu “Bukan begitu!” Seru Duke “Justru kami yang sedang khawatir tentang kamu!”
“Aduh bikin kaget saja…” kata Levin “Kamu enggak apa-apa kan?”
Aku terdiam “Maksud kalian apa?” tanyaku pelan “Ah sudah dulu deh, aku ada keperluan, bye!” lanjutku sambil berlari meninggalkan mereka.
Levin dan Duke saling pandang. Sikapku hari ini aneh sekali sepertinya.
“Hei, dia kan keluar dari UKS,” kata Levin “Tanya ke bu Paisley saja.”
Duke mengangguk “Boleh saja,” jawabnya pendek. Lalu mereka memasuki UKS.
***
“Ah, aku mengerti… kalian mengkhawatirkannya ya?” kata bu Paisley pelan.
Mereka mengangguk “Sepertinya, dia hanya pingsan tadi pagi. Lalu dia di bawa kesini. Tapi kemudian, dia meminum suatu obat. Sehingga tadinya dia kaku, jadi kembali normal,” jelas bu Paisley “Tapi, maaf, ibu tidak tahu penyebabnya apa.”
Mereka terdiam lagi. “Oh begitu,” kata Levin pelan “Kalau begitu, ya sudah, maaf menganggu!” lanjutnya sambil keluar. Diikuti oleh Duke.
Setelah di luar, mereka semakin terdiam “Foster… apa dia mengidap penyakit yang parah ya?” tanya Levin khawatir.
“Entahlah,” kata Duke “Dia tak pernah bilang apa-apa.”
Mereka menghela nafas bersamaan “Hmm, aku agak capek…” kata Levin pelan “Aku mau pulang duluan ke asrama ya?”
Levin lalu berlalu. Tinggallah Duke sendirian “Foster, dia kenapa sih?” gumamnya pelan. Kemudian, dia berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Padahal, Aku mengamatinya dari jauh. Melihat mereka dengan cermat. Lalu aku menunduk.
“Hmm, ini tidak bagus, teman-teman sudah mengetahuinya,” gumamku “aku harus berusaha merahasiakan ini lebih dalam pada mereka…”
Mereka mengangguk “Sepertinya, dia hanya pingsan tadi pagi. Lalu dia di bawa kesini. Tapi kemudian, dia meminum suatu obat. Sehingga tadinya dia kaku, jadi kembali normal,” jelas bu Paisley “Tapi, maaf, ibu tidak tahu penyebabnya apa.”
Mereka terdiam lagi. “Oh begitu,” kata Levin pelan “Kalau begitu, ya sudah, maaf menganggu!” lanjutnya sambil keluar. Diikuti oleh Duke.
Setelah di luar, mereka semakin terdiam “Foster… apa dia mengidap penyakit yang parah ya?” tanya Levin khawatir.
“Entahlah,” kata Duke “Dia tak pernah bilang apa-apa.”
Mereka menghela nafas bersamaan “Hmm, aku agak capek…” kata Levin pelan “Aku mau pulang duluan ke asrama ya?”
Levin lalu berlalu. Tinggallah Duke sendirian “Foster, dia kenapa sih?” gumamnya pelan. Kemudian, dia berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Padahal, Aku mengamatinya dari jauh. Melihat mereka dengan cermat. Lalu aku menunduk.
“Hmm, ini tidak bagus, teman-teman sudah mengetahuinya,” gumamku “aku harus berusaha merahasiakan ini lebih dalam pada mereka…”
***
Beberapa minggu kemudian, aku dan Levin sedang bersintesis bersama. Sementara itu, Duke tidak datang karena katanya ada urusan.
“Ok, sekarang masukkan ikannya pelan-pelan…” kataku “Lalu kemudian, ambil cairannya, dan tebarkan bumbu yang sudah di sediakan di atasnya…”
“Oh bagus,” kata Levin sambil tersenyum “Nah sudah selesai! Lalu harus di apakan?”
“Diamkan dulu, sesudah itu, rebus selama 2 menit di panci sana,” kataku “Lalu berikutnya…”
Tiba-tiba, bu Betty datang mengetuk pintu. Wajahnya terlihat kesal. Kami langsung membuka pintunya.
“Permisi, apakah tuan Dunkstein ada disini?” katanya “Ada yang ingin saya bicarakan.”
Aku dan Levin saling pandang “Maaf bu, tapi hari ini, dia belum datang karena katanya ada urusan,” jawab Levin sopan “Memangnya kalau boleh tahu, ada apa dengannya?”
“Sudah kuduga,” gumamnya “Bilang saja, ibu menunggunya di ruang kepala besok. Maaf tapi, tanyakan saja padanya. Permisi,” sambungnya sambil pergi. Kami mengamati kepergiannya.
“Nah ada apa ya?” tanya Levin pelan “Tumben Duke buat masalah?”
“Dia mah, memang bermasalah,” kataku “Yah begitulah dia.”
Tiba-tiba terlihat bayangan dari pintu “Siapa yang bermasalah?” katanya. Kami terkejut. Yang berdiri di sana…. Duke!
“Hai Duke!” seru Levin “Kamu ada masalaah dengan bu Betty? Sepertinya beliau marah.”
Duke menghela nafas “Ooh, itu lagi…” katanya “Wah bosen aku sama masalah itu…”
Aku lalu mendekati Duke “Memangnya ada apa sih?” tanyaku penasaran “Aku tak menyangka kamu punya masalah dengan bu wakil kepala.”
“Bukan masalah besar sih,” jawabnya santai “Masalah kecil saja kok, soal berantem sama teman sekelas saja.”
Kami terkejut “Ha? Berantem dengan teman sekelas?” kata Levin tak percaya.
“Memang sudah kelihatan ya,” gumamku pelan.
“Yah begitulah aku, beda dengan kalian,” kata Duke “Yuk, sekarang mau ngapain?”
“Ehm, soal itu,” kata Levin pelan “Tadi bu Betty datang kesini untuk…”
“Memberimu tugas!” kata suara lagi di pintu. Di pintu, bu Betty sudah memasang wajahnya dengan baik “Ibu sudah tidak kuat mengenai komplen dari teman-teman dan gurumu. Berhubung kamu berasal dari keluarga penghasil bahan-bahan terbaik, kami tak bisa mengeluarkanmu. Jadi kami memutuskan memberimu tugas.”
Kami terdiam. Duke berdiri “Boleh, jadi tugas apa yang ingin di berikan padaku?” katanya.
“Ibu cukup dengan memberimu tugas untuk mencari ubur-ubur di pantai Sunset. Bawakan minimal 5 buah saja. Ibu tunggu di ruang ibu besok,” kata bu Betty “Jika besok tidak di berikan pada ibu, maaf, tapi, kami terpaksa mengeluarkanmu.”
Kemudian, bu Betty beranjak dari Workshop kami, kembali ke kehidupannya. Kami memandang Duke.
“Duke, memangnya kamu sudah punya pancingan?” tanya Levin pelan.
“Belum,” jawab Duke pendek. Kami terkejut.
“Apa maksudmu dengan berkata ‘belum’ semudah itu?” kataku pelan “Ayo, kita harus mencari pancingan!”
Levin tiba-tiba melamun. Lalu kemudian menjentingkan jarinya “Ooh! Kalau tidak salah, ayahku pernah bilang, tentang temannya ayahku yang tinggal di hutan,” kata Levin “Dia adalah Sigma, teman Workshop ayahku yang tadinya adalah penghuni hutan.”
“Oh begitu,” kataku pelan “Lalu, hutan sebelah mana?”
“Nah itu dia yang aku tak tahu,” kata Levin “Tapi, katanya kita hanya harus menyusuri pantai ke arah selatan dari pantai Sunset.”
“Kalau begitu, ayo kita berangkat!” kataku “Kamu ikut juga Duke!”
“Ok, sekarang masukkan ikannya pelan-pelan…” kataku “Lalu kemudian, ambil cairannya, dan tebarkan bumbu yang sudah di sediakan di atasnya…”
“Oh bagus,” kata Levin sambil tersenyum “Nah sudah selesai! Lalu harus di apakan?”
“Diamkan dulu, sesudah itu, rebus selama 2 menit di panci sana,” kataku “Lalu berikutnya…”
Tiba-tiba, bu Betty datang mengetuk pintu. Wajahnya terlihat kesal. Kami langsung membuka pintunya.
“Permisi, apakah tuan Dunkstein ada disini?” katanya “Ada yang ingin saya bicarakan.”
Aku dan Levin saling pandang “Maaf bu, tapi hari ini, dia belum datang karena katanya ada urusan,” jawab Levin sopan “Memangnya kalau boleh tahu, ada apa dengannya?”
“Sudah kuduga,” gumamnya “Bilang saja, ibu menunggunya di ruang kepala besok. Maaf tapi, tanyakan saja padanya. Permisi,” sambungnya sambil pergi. Kami mengamati kepergiannya.
“Nah ada apa ya?” tanya Levin pelan “Tumben Duke buat masalah?”
“Dia mah, memang bermasalah,” kataku “Yah begitulah dia.”
Tiba-tiba terlihat bayangan dari pintu “Siapa yang bermasalah?” katanya. Kami terkejut. Yang berdiri di sana…. Duke!
“Hai Duke!” seru Levin “Kamu ada masalaah dengan bu Betty? Sepertinya beliau marah.”
Duke menghela nafas “Ooh, itu lagi…” katanya “Wah bosen aku sama masalah itu…”
Aku lalu mendekati Duke “Memangnya ada apa sih?” tanyaku penasaran “Aku tak menyangka kamu punya masalah dengan bu wakil kepala.”
“Bukan masalah besar sih,” jawabnya santai “Masalah kecil saja kok, soal berantem sama teman sekelas saja.”
Kami terkejut “Ha? Berantem dengan teman sekelas?” kata Levin tak percaya.
“Memang sudah kelihatan ya,” gumamku pelan.
“Yah begitulah aku, beda dengan kalian,” kata Duke “Yuk, sekarang mau ngapain?”
“Ehm, soal itu,” kata Levin pelan “Tadi bu Betty datang kesini untuk…”
“Memberimu tugas!” kata suara lagi di pintu. Di pintu, bu Betty sudah memasang wajahnya dengan baik “Ibu sudah tidak kuat mengenai komplen dari teman-teman dan gurumu. Berhubung kamu berasal dari keluarga penghasil bahan-bahan terbaik, kami tak bisa mengeluarkanmu. Jadi kami memutuskan memberimu tugas.”
Kami terdiam. Duke berdiri “Boleh, jadi tugas apa yang ingin di berikan padaku?” katanya.
“Ibu cukup dengan memberimu tugas untuk mencari ubur-ubur di pantai Sunset. Bawakan minimal 5 buah saja. Ibu tunggu di ruang ibu besok,” kata bu Betty “Jika besok tidak di berikan pada ibu, maaf, tapi, kami terpaksa mengeluarkanmu.”
Kemudian, bu Betty beranjak dari Workshop kami, kembali ke kehidupannya. Kami memandang Duke.
“Duke, memangnya kamu sudah punya pancingan?” tanya Levin pelan.
“Belum,” jawab Duke pendek. Kami terkejut.
“Apa maksudmu dengan berkata ‘belum’ semudah itu?” kataku pelan “Ayo, kita harus mencari pancingan!”
Levin tiba-tiba melamun. Lalu kemudian menjentingkan jarinya “Ooh! Kalau tidak salah, ayahku pernah bilang, tentang temannya ayahku yang tinggal di hutan,” kata Levin “Dia adalah Sigma, teman Workshop ayahku yang tadinya adalah penghuni hutan.”
“Oh begitu,” kataku pelan “Lalu, hutan sebelah mana?”
“Nah itu dia yang aku tak tahu,” kata Levin “Tapi, katanya kita hanya harus menyusuri pantai ke arah selatan dari pantai Sunset.”
“Kalau begitu, ayo kita berangkat!” kataku “Kamu ikut juga Duke!”
***
Kami sampai di pantai Sunset. Kami bertemu dengan Cyrus disana.
“Oh hai Foster, Duke, dan Levin!” sapanya sambil membawa sekantung kerang “Ada apa? Kalian sudah punya pancingan ya?”
Kami menggeleng “Justru kami tidak punya,” kata Duke “Hey kamu tahu Si…”
Levin langsung membekap mulut Duke. “Eeh, eh, tahu Si-Terra enggak? Dia kemarin meminjam peralatan lab kami….”
Cyrus menyernyitkan dahi “Oh, dia, dia sedang mencari Kayu di hutan utara sana,” jawabnya pelan.
Levin langsung mendorong kami ke belakang, keluar dari pantai sunset “Makasih Cyrus, dadah gud bay!” kata Levin sambil meninggalkannya. Cyrus memandangi kami dengan aneh. Lalu melanjutkan pencarian kerangnya.
“Phuaah!! Apa yang kamu lakukan!?” Seru Duke setelah mulutnya di buka.
“Maaf Duke,” kata Levin “Tapi, orang bernama Sigma ini mending jangan di sebar-luaskan.”
“Memangnya kenapa?” tanyaku “Tak ada salahnya kan menanyai seseorang? Apalagi Cyrus…”
“Bukan itu,” tukas Levin “Tempat Sigma ini… Sangat rahasia! Ayahku bilang, jangan sampai ada yang tahu tentang ini!”
Aku dan Duke saling pandang “Ok, kalau tak lewat pantai, lalu lewat mana?” tanya Duke. Levin terdiam sejenak.
“Kenapa kita tidak pergi ke selatan saja sekarang? Lalu belok ke kiri terus hingga ketemu pantai?” kataku panjang lebar. Levin dan Duke memandangku.
“Bagus!” kata Duke “Ayo cepat, sebelum sore.”
Kami lalu memasuki hutan timur. Pergi ke selatan. Lalu, ke arah timur setelah merasa agak jauh. Kami menemukan tepi laut. Lalu, kami menyusuri tepi pantai hutan timur itu. Terus ke selatan. Beberapa lama kemudian, kami melihat sebuah gubuk di kejauhan.
“Eh itu mungkin?” tunjukku ke depan “Ada gubuk yang kelihatannya sudah tua.”
Kami dengan segera mendekatinya. Tempat itu mungkin adalah tempat persembunyian Sigma dahulu kala! Tempat itu cukup indah. Airnya lebih bening dibandingkan di pantai Sunset. Ada perahu kecil dan dermaga kecil. Gubuknya terbuat dari kayu. Tertulis ‘Sigma’.
“Aha benar,” kata Levin senang “Ayo, kita cari pancingannya.”
Kami lalu menyusuri setiap detil gubuk dan dermaganya. Beberapa saat kemudian, kami berhasil menemukannya di perahu kecil tersebut.
“Aneh ya,” kata Levin “Padahal ini sudah sepertinya lama, tapi kelihatan masih bagus?”
“Hem mungkin Sigma memolesinya pakai alkemi?” dugaku “Seingatku, Alkemi dapat melakukan hampir semuanya.”
“Yah urusan begitu kita simpan nanti saja!” kata Duke “Ayo kita segera ke pantai Sunset untuk memancing!”
Kami kembali menyusuri pantai. Sebelum sampai di pantai Sunset, kami memasuki hutan, dan keluar di jalan menuju ke pantai Sunset, agar kami tidak di curigai. Kami langsung mencari tempat memancing yang enak. Cyrus sudah tidak ada.
“Ayo secepatnya,” kata Levin buru-buru “Fo, disini ada ubur-ubur apa?”
“Tenang saja Levin,” kata Duke sambil tiduran di karpet berjemur.
“Kami mengkhawatirkan kamu tahu!! Segarlah sedikit!!” teriak Levin histeris.
“Aku enggak ikutan deh,” kataku pelan “Oh iya, disini adanya ubur-ubur yang namanya 99% Water.”
“99% Water? Berarti air dong?” tanya Duke sambil melihat ke air.
“Kalian tak tahu? Ubur-ubur kan 98%-nya air lho,” jelasku.
“Ah sudahlah,” kata Duke “Cepetan pancing!”
Sejam kami menunggu. Untungnya ada hasilnya. Kami sudah mendapatkan 5 buah 99% Water!
“Bagus!” kata Levin senang “Nah sekarang, mari kita antar ini ke bu Betty!”
Kami langsung pergi sesegera mungkin menuju ke ruang kepala sekolah, dan menyerahkannya pada bu Betty. Tentu saja, bu Betty sangat terkejut karena kami begitu cepat memberikannya.
“Hmm, bagus,” gumam bu Betty pelan “Baiklah, Dunkstein! Tuduhanmu akan dilepaskan! Tapi, tolong jangan mengulangi perbuatan yang sama ya!”
Kami lalu bersorak. Karenanya, kami di usir oleh bu Betty keluar dari ruangan pak kepala yang pak kepalanya sedang ada rapat diluar. Kami lalu berjalan dengan senang menuju Workshop kami.
“Baguslah, masalahmu kini beres,” kata Levin “Mari, kita lanjutkan lagi sintesis kita yang…”
“Ya ampun!!” teriakku “Tadi kita meninggalkan sintesis kita tanpa mematikannya!!”
Levin terkejut. Kami langsung melambung jauh, terbang tinggi, ke Workshop kami. Duke hanya memandang kami dari jauh. Sambil tersenyum, dia berkata “Untung saja, mereka adalah temanku ya…”
“Oh hai Foster, Duke, dan Levin!” sapanya sambil membawa sekantung kerang “Ada apa? Kalian sudah punya pancingan ya?”
Kami menggeleng “Justru kami tidak punya,” kata Duke “Hey kamu tahu Si…”
Levin langsung membekap mulut Duke. “Eeh, eh, tahu Si-Terra enggak? Dia kemarin meminjam peralatan lab kami….”
Cyrus menyernyitkan dahi “Oh, dia, dia sedang mencari Kayu di hutan utara sana,” jawabnya pelan.
Levin langsung mendorong kami ke belakang, keluar dari pantai sunset “Makasih Cyrus, dadah gud bay!” kata Levin sambil meninggalkannya. Cyrus memandangi kami dengan aneh. Lalu melanjutkan pencarian kerangnya.
“Phuaah!! Apa yang kamu lakukan!?” Seru Duke setelah mulutnya di buka.
“Maaf Duke,” kata Levin “Tapi, orang bernama Sigma ini mending jangan di sebar-luaskan.”
“Memangnya kenapa?” tanyaku “Tak ada salahnya kan menanyai seseorang? Apalagi Cyrus…”
“Bukan itu,” tukas Levin “Tempat Sigma ini… Sangat rahasia! Ayahku bilang, jangan sampai ada yang tahu tentang ini!”
Aku dan Duke saling pandang “Ok, kalau tak lewat pantai, lalu lewat mana?” tanya Duke. Levin terdiam sejenak.
“Kenapa kita tidak pergi ke selatan saja sekarang? Lalu belok ke kiri terus hingga ketemu pantai?” kataku panjang lebar. Levin dan Duke memandangku.
“Bagus!” kata Duke “Ayo cepat, sebelum sore.”
Kami lalu memasuki hutan timur. Pergi ke selatan. Lalu, ke arah timur setelah merasa agak jauh. Kami menemukan tepi laut. Lalu, kami menyusuri tepi pantai hutan timur itu. Terus ke selatan. Beberapa lama kemudian, kami melihat sebuah gubuk di kejauhan.
“Eh itu mungkin?” tunjukku ke depan “Ada gubuk yang kelihatannya sudah tua.”
Kami dengan segera mendekatinya. Tempat itu mungkin adalah tempat persembunyian Sigma dahulu kala! Tempat itu cukup indah. Airnya lebih bening dibandingkan di pantai Sunset. Ada perahu kecil dan dermaga kecil. Gubuknya terbuat dari kayu. Tertulis ‘Sigma’.
“Aha benar,” kata Levin senang “Ayo, kita cari pancingannya.”
Kami lalu menyusuri setiap detil gubuk dan dermaganya. Beberapa saat kemudian, kami berhasil menemukannya di perahu kecil tersebut.
“Aneh ya,” kata Levin “Padahal ini sudah sepertinya lama, tapi kelihatan masih bagus?”
“Hem mungkin Sigma memolesinya pakai alkemi?” dugaku “Seingatku, Alkemi dapat melakukan hampir semuanya.”
“Yah urusan begitu kita simpan nanti saja!” kata Duke “Ayo kita segera ke pantai Sunset untuk memancing!”
Kami kembali menyusuri pantai. Sebelum sampai di pantai Sunset, kami memasuki hutan, dan keluar di jalan menuju ke pantai Sunset, agar kami tidak di curigai. Kami langsung mencari tempat memancing yang enak. Cyrus sudah tidak ada.
“Ayo secepatnya,” kata Levin buru-buru “Fo, disini ada ubur-ubur apa?”
“Tenang saja Levin,” kata Duke sambil tiduran di karpet berjemur.
“Kami mengkhawatirkan kamu tahu!! Segarlah sedikit!!” teriak Levin histeris.
“Aku enggak ikutan deh,” kataku pelan “Oh iya, disini adanya ubur-ubur yang namanya 99% Water.”
“99% Water? Berarti air dong?” tanya Duke sambil melihat ke air.
“Kalian tak tahu? Ubur-ubur kan 98%-nya air lho,” jelasku.
“Ah sudahlah,” kata Duke “Cepetan pancing!”
Sejam kami menunggu. Untungnya ada hasilnya. Kami sudah mendapatkan 5 buah 99% Water!
“Bagus!” kata Levin senang “Nah sekarang, mari kita antar ini ke bu Betty!”
Kami langsung pergi sesegera mungkin menuju ke ruang kepala sekolah, dan menyerahkannya pada bu Betty. Tentu saja, bu Betty sangat terkejut karena kami begitu cepat memberikannya.
“Hmm, bagus,” gumam bu Betty pelan “Baiklah, Dunkstein! Tuduhanmu akan dilepaskan! Tapi, tolong jangan mengulangi perbuatan yang sama ya!”
Kami lalu bersorak. Karenanya, kami di usir oleh bu Betty keluar dari ruangan pak kepala yang pak kepalanya sedang ada rapat diluar. Kami lalu berjalan dengan senang menuju Workshop kami.
“Baguslah, masalahmu kini beres,” kata Levin “Mari, kita lanjutkan lagi sintesis kita yang…”
“Ya ampun!!” teriakku “Tadi kita meninggalkan sintesis kita tanpa mematikannya!!”
Levin terkejut. Kami langsung melambung jauh, terbang tinggi, ke Workshop kami. Duke hanya memandang kami dari jauh. Sambil tersenyum, dia berkata “Untung saja, mereka adalah temanku ya…”
***
Hari tes pun tiba. Pak Klapper berseri-seri melihat kami. “Baiklah, hari ini adalah tes akhir! Tak terasa kalian akan segeramenjadi Sophomore!” sambutnya “Sekalian di perhatikan, tes akhir selalu berkelompok dengan satu Workshop! Jadi, akrabkanlah diri kalian dengan Workshop kalian. Dan tentu saja, jangan libatkan kakak kelas kalian dalam melakukan ini!”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?” tanyaku pelan pada Nay.
“Entahlah,” jawabnya “Kuharap ber-dance ya?”
“Kamu berlebihan…” kataku pelan.
“Baiklah akan bapak umumkan tugas bagi kalian para Freshmen!” kata pak Klapper melanjutkan yang tadi “Kalian cukup mencari bahan-bahan yang jarang ada dan sangat jarang dilihat. Semakin sulit, nilai kalian semakin baik! Untuk mencari yang terbaik, kini, kalian diperbolehkan untuk menelusuri daerah Sophomore!”
Kami bersorak. “Baiklah, bapak harap kalian menemukan yang terbaik. Tulislah laporan kalian, lalu berikan pada bapak, nanti tiap wali kelas akan memeriksa Workshop kalian. Nah, tugas ini di kumpulkan 3 hari kedepan, jadi semoga berhasil ya! Oh iya, hati-hati karena area Sophomore berbahaya di malam hari, jadi bapak harap, kalian tidak berjalan pada malam hari ya!” lanjutnya. Lalu, kemudian, dia keluar dan kelas selesai.
Sesudah itu, aku mengobrol sebentar dengan Nay.
“Phew! Untung saja bukan ulangan,” kataku “Kalau ulangan aku enggak yakin bisa.”
“Ya aku juga,” kata Nay “Ya sudah, yuk kita ke Workshop masing-masing! Aku harus mendiskusikan tentang ini. Sampai jumpa!”
Aku melambai ke Nay. Aku menghela nafas. Duh, mesti kemana ya? Tiba-tiba, di pintu, Levin dan Duke sudah menunggu. Kami lalu segera pergi ke Workshop kami.
“Jadi? Bagaimana?” tanyaku “Apa kita meneliti danau Pulse?”
“Dimana itu?” tanya Levin “Maaf aku kurang kenal tempat itu.”
“Aku punya usul!” kata Duke. Kami memperhatikan Duke “Kalian tahu, dibawah gunung Frost, ada altar penyegelan. Nah, mungkin disitu kita dapat menemukan sesuatu!”
Levin tersenyum “Wah benar juga!” kata Levin “Baiklah, dimana itu?”
“Eh tapi tunggu!” kataku “Bukannya itu daerah Junior?”
Levin dan Duke terdiam “ah, pasti bisa dimasuki kan?” tanya Duke “Ayolah!”
“Aku tak tahu,” kataku “Biasanya ada sejenis pelindung yang menghalangi tingkat bawah seperti freshmen, sophomore…”
“Kalau begitu, ayo kita kesana!” kata Levin “Ayo kita coba dulu!”
Aku menghela nafas “Baik… aku ikut saja deh…” kataku. Lalu kemudian, kami bersiap-siap pergi ke gua altar penyegelan.
Sementara itu, di pintu, seseorang sedang mendengar kami “Hehehe, mau ke Gua Naga ya,” katanya sinis “Akan kuhentikan mereka nanti…”
***
Kami langsung pergi ke lapangan Everee.
“Bawa petanya?” tanya Duke.
“Ngg, aku bawa,” kata Levin “Eeh, aku bawa sih tapi...”
“Lalu? Kenapa ada tapinya?” tanya Duke.
“Ini kok, enggak kelihatan dimana kita,” kata Levin sambil membolak-balik petanya.
“Sini coba kulihat,” kataku. Tiba-tiba, aku memasang senyum garing “Levin… ini kan… Peta Dunia!”
“Hah!? Levin!!” Teriak Duke marah.
“Waa maaf! Mana kutahu kalau itu peta Dunia!” katanya.
“Duke, sabarlah!” kataku “Aku bawa petanya pulau Gebrida ini kok!”
“Mana coba kulihat,” kata Duke sambil meminta petanya. Kemudian melihatnya. Dan tersenyum garing “Foster bodoh! Ini kan peta Akademi! Mana peta pulaunya!!?”
Aku terkejut. Aku memeriksa tasku lagi “Ah, eh salah!” kataku “Yang benar yang ini.”
Duke mengambil petanya dari tanganku “Nah yang ini baru benar,” katanya “Jadi, dari sini ke hutan utara, lalu selusuri tebing hingga menemukan lubang.”
“Oh, nama tempatnya itu Gua Naga yah?” kata Levin pelan “Jadi penasaran ada apa disana.”
“Ayo, kita segera jalan!” kata Duke bersemangat. Kami bersorak. Lalu, kami memasuki hutan utara menuju ke Gua Naga.
Padahal di belakang kami, 2 orang sedang mengamati kami dengan mata yang tidak mengenakkan..
“Mereka bersemangat juga ya, Rose?” tanya seseorang pada temannya dengan nada jahat.
“Ohohoh! Benar Bart!” jawab yang perempuan dengan suara gemilang “Aku jadi sayang, harus menghentikan mereka!”
“Kalau begitu, ayo kita segera pergi ke Gua Naga,” kata Bart.
“Ayo!” seru Rose. Mereka berdua kemudian hilang di kegelapan hutan.
***
Kami melewati kayu-kayu yang sudah ditebang. Matahari sudah mulai bersembunyi di ufuk barat. Hari mulai gelap. Namun, kami tetap melanjutkan petualangan kami. Setelah beberapa saat, tersesat dulu tentunya, kami akhirnya sampai di depan Gua Naga tersebut.
“Nah aku tak tahu deh,” kataku “Pasti ada penghalang yang menghalanginya deh.”
“Kita tak akan tahu sebelum mencoba,” kata Duke “Ayo kita coba.”
“kita bergeraknya bersama-sama ok,” kata Levin. Kami mengangguk.
Suasana tegang seperti akan duel antar koboi ini sangat terasa. Kami lalu berjalan menuju ke dalam gua tersebut dengan iringan yang sama. Namun, saat di pintu masuknya saja, kami sudah terpental!
“Nah apa kubilang!” kataku sambil memegang kepalaku yang terbentur dengan sikut Duke “Kita tak bisa memasuki area Junior!”
Duke dan Levin terdiam. Memandang pintu masuk ke dalam altar Gua Naga. Tiba-tiba, ada bunyi langkah dari belakang.
“Kalau kalian benar-benar ingin masuk kesana, aku bisa membantu,” kata suara itu. Rasanya kami kenal dengan suara itu.
Orang itu keluar dari bayang-bayang hutan. Tersinari oleh sinar bulan sabit. Kami terkejut melihat orang yang datang itu. Itu kan Cyrus!
“Cyrus? Apa yang kau lakukan disini?” tanya Levin kaget. Cyrus tersenyum.
“Maaf aku datang tiba-tiba,” katanya “Sebenarnya, ada yang ingin kukatakan pada kalian!”
“Cyrus?” kataku pelan.
“Lalu apa maumu?” tanya Duke sambil berdiri.
Cyrus terdiam sebentar “Izinkan aku ikut dengan… Workshop kalian!” katanya. Kami terdiam lagi. “Maaf, tapi, sebenarnya, Workshop miliknya… Ada sesuatu yang kurang aku suka.”
“Umm, bagaimana ini…?” tanya Levin pada kami.
“Kan kamu ketuanya? Kenapa harus aku yang menentukan boleh tidaknya?!” seru Duke.
“Aku hanya bawahan, maaf ya,” kataku pendek.
Levin kembali memandang Cyrus. “Hem, menurut kalian bagaimana?”
“Aku sih, bolehlah,” kata Duke pendek.
“Boleh,” kataku lebih pendek lagi.
Levin menghela nafas “Ya sudah, boleh deh!” katanya. Cyrus melompat.
“Makasih banyak!” teriaknya “Aku sayang kalian!”
“Tapi, kenapa kamu ikut dengan kami?” tanyaku pelan “Kan masih banyak Workshop lainnya?”
“Hmm, begini,” kata Cyrus pelan “Sebenarnya…”
“Kau mendengar apa yang kami diskusikan kemarin ya?” kata seseorang di kegelapan hutan lagi. Kami menoleh. Cyrus tampak pucat. “Mereka… Datang untuk menghentikan kalian!” lanjutnya.
Kami menelan ludah. Dua orang tadi, datang bersamaan dari dalam hutan.
“Merekalah seniorku,” kata Cyrus “Mereka adalah Bart, dan Rose, pemilik Workshop Bartheno!”
Bart dan Rose tersenyum. “Akhirnya ketemu!” teriak Bart “Levin Valbelumona!”
Levin memasang muka marah “Kalian…” geramnya pelan. Sementara itu, aku dan Duke saling pandang.
“Siapa mereka?” tanyaku pelan pada Levin.
“Mereka adalah musuh lama ayahku,” jelas Levin “Ayah mereka pernah menjadi rival ayahku, dan sering menganggu ayahku.”
“Ohhohoho! Bukannya itu kata-kata yang terlalu kejam untuk seorang ‘Valbelumona’?” sindir Rose dengan nada yang kurang enak.
“Baik, sepertinya pembicaraan ini mulai menyimpang,” kata Bart “Bagaimana kalau kita akhiri disini Rose?”
“Baiklah!” jawab Rose. Mereka mendekati kami sambil mengeluarkan senjata mereka.
“Hei, hei, apa yang ingin kalian lakukan?” tanyaku kaget “Kalian mau melawan kami?”
“Sudahlah, Foster,” kata Duke sambil berdiri dan menonjok tangannya sendiri “Aku tak tahu siapa mereka, tapi, kurasa mereka adalah musuh!”
“Cyrus, bisa diam di belakang?” kata Levin sambil mengeluarkan sesuatu dari sarung pedangnya. Dia mengeluarkan sebuah pedang bambu yang mengkilat!
“Tidak!” kata Cyrus “Mereka ternyata juga musuh ibuku selama ini, aku akan membantumu!” lanjutnya sambil membuat sebuah tongkat dari sinar-sinar yang mengelilinginya. Aku terdiam melihatnya.
Tinggal aku sendiri bingung pusing kepala. “Ah, baiklah, selama ini tidak ada masalah dengan akademia…” kataku pelan sambil mengeluarkan binder dari dalam jaketku.
“Hehehe, kalian sudah siap?” kata Bart “Untuk mati!”
Pertarungan pun tak dapat dihindari…
***
Beberapa menit kemudian, rupanya, gabungan kami berhasil mengalahkan mereka!
“Uh, Urrg!” erang Bart “Kalian akan menerima balasannya!”
“Rambutku! Rambutku yang cantik!” jerit Rose melihat rambutnya yang acak-acakan “Awas kalian! Nantikan balas dendamku!”
Setelah berkata demikian, mereka pun kabur. Kami menghela nafas bersama.
“Phew, aku tak menyangka kita bisa menang…” kataku sambil kembali menyimpan binderku.
“Ah sudahlah,” kata Levin sambil kembali meletakkan pedangnya “Jangan pedulikan mereka, ayo kita fokus dulu pada cara masuk ke dalam gua itu.”
“Jadi, kalian benar-benar ingin masuk kesana?” tanya Cyrus. Kami mengangguk.
“Ayo Cyrus,” kata Duke “Jangan hanya diam saja, ayo lakukan sesuatu!”
Cyrus lalu mengangguk. Lalu kemudian, dia mendekati pintu tersebut. Kemudian, dia berusaha melakukan sesuatu dengan tongkatnya. Kemudian, tiba-tiba terlihat ada lubang besar di pintu masuknya!
“Ayo teman-teman!” teriak Cyrus “Masuklah cepat!”
Kami langsung berlari memasuki lubang itu. Cyrus lalu meloncat masuk kedalam gua bersama kami.
“Untunglah!” kata Levin senang “Makasih Cyrus!”
“Eng, lalu keluarnya bagaimana?” kataku sambil membetulkan letak kacamataku yang miring.
“Tenang saja, kita dapat keluar dengan hanya melewatinya saja kok,” kata Cyrus “Kalau begitu, ayo kita lanjutkan kedalam.”
Kami lalu masuk kedalam. Di sepanjang perjalanan, banyak obor yang diletakkan sehingga tidak sulit melihat jalan. Kami lalu terhenti di depan danau bawah tanah yang cukup besar.
“Kalau tidak salah, ini adalah danau bawah tanah Naga,” jelasku “Disini, airnya hangat. Sehingga di percaya ada naga yang tinggal di dalamnya.”
Mereka saling pandang “Kalau begitu, ayo kita berpencar saja,” kata Levin “Cari barang-barang yang aneh, lalu kita kumpul di depan obor ini ok.”
Kami lalu saling mengangguk. Lalu berpencar.
Levin menyusuri sepanjang dinding. Dia memperhatikan dinding-dinding yang berkilauan. Sepertinya disini terdapat banyak tambang yang cukup bagus. Dia berusaha mencabutnya. Namun, dia sendiri malah terpental tanpa mendapatkan apa-apa. Levin melihat ke sampingnya. Ada sebuah beliung disana! Levin lalu menggunakannya ke dinding. Dia lalu mengambil sebuah batu yang cukup berkilauan. Lalu, kemudian, dia pergi darisana.
Sementara itu, aku menelusuri ujung gua. Aku sampai di altar penyegelan. Aku berkeliling di sana. Memperhatikan dupa dan persembahan di sana sini. Ruangan disini lebih terang dibandingkan di lorong tadi. Aku meneliti batu-batu di atas altar pengorbanan. Batu bulat yang indah. Aku kemudian membawanya keluar dari sana.
Duke mendekati tepi danau itu. Kemudian, dia mengeluarkan pancingannya. Kemudian memancing. Hampir dia mengantuk selama itu. Namun, tiba-tiba, kailnya bergoyang. Duke lalu mencoba menariknya dengan seluruh kekuatannya. Ketika ditarik, ternyata itu adalah benda bulat yang bentuknya seperti telur. Tapi, yang ini besar. Duke lalu membawanya pergi dari sana.
Cyrus meneliti tanahnya pelan-pelan. Melihat-lihat mungkin ada tanah yang gembur untuk di gali. Agak lama memang dia mencarinya. Sampai suatu sisi, dia menemukan sebuah tanah yang gembur yang bisa digali. Kemudian, Cyrus mengeluarkan sekop mininya. Lalu mulai menggali disana. Ia menemukan sebuah kristal bulat yang cukup indah. Ia lalu membawanya pergi dari situ.
***
Kami lalu berkumpul dibawah obor tadi.
“Bagaimana?” tanya Levin.
“Yah bulat deh,” kataku sambil memperlihatkan benda bulat itu.
“Kok sama ya?” tanya Cyrus kaget.
“Aku juga,” tambah Duke.
Kami lalu saling pandang satu sama lain. Lalu, kemudian kami bergegas keluar darisana karena kami mendengar suara langkah orang banyak. Jadi, kami memutuskan untuk menelitinya di Workshop kami.
***
Kami lalu sampai di Workshop beberapa menit setelah itu. Kami lalu mengeluarkan benda bulat kami masing-masing.
“Hem,” kataku sambil memperhatikan kristal milik Levin “Ini, Grandite, kristal bawah tanah yang cukup bagus. Namun, ini cukup mudah di temukan.”
Kami lalu terdiam. Lalu menghela nafas bersama.
“Hem,” kataku sambil memperhatikan kritstal bulatku “Ini, Raw Asclion Ore, kristal yang belum di apa-apakan dan kurang begitu menarik.”
Kami lalu terdiam. Lalu menghela nafas bersama lagi.
“Hem,” kataku sambil memperhatikan kristal temuan Cyrus “Ini, Avellian Copper, tembaga yang jarang ada. Cukup tinggi di pasaran. Wow, ini benda yang bagus Cyrus!”
Cyrus tersenyum. “Baik, ayo kita ambil ini saja sebagai bahan untuk nanti!” kata Levin bersemangat.
“Eh tunggu!” kata Duke “Bagaimana dengan temuanku?”
Kami saling pandang “Baiklah,” kataku “Akan kuperiksa… Walaupun sia-sia…”
Kemudian, aku meneliti benda tersebut. Memutar-mutarnya. Tiba-tiba, aku menyernyitkan dahi. “Tunggu, aku tak pernah melihat sesuatu seperti ini?” kataku.
“Yah, mana kutahu,” kata Duke “Aku mendapatkannya waktu memancing tadi itu…”
Tapi, tak sengaja, aku menyenggol benda bulat tersebut. Itu pun jatuh kebawah. Terdengar suara retakan sesuatu.
“Arrrrgh! Hey, itu kan penemuanku!” seru Duke marah “Kenapa kamu menjatuhkannya!?”
Aku jadi panik sendiri. Duke langsung mengambilnya. “M-maaf! Aku tak sengaja lho!” kilahku “Maaf sekali Duke, bukan berarti aku…”
Tiba-tiba, Cyrus menjerit. “Hah? Ada apa?” tanya Levin ikut kaget.
Cyrus perlahan-lahan menunjuk ke benda penemuan Duke itu “Itu, ma…mata!” katanya. Aku dan Levin memandang benda itu. Duke ikut memandangnya.
Kami sangat terkejut ketika melihat ada sinar di kegelapan hitam di dalam telur yang bolong tersebut. Duke langsung menjauhkan lengannya. Memperhatikan mata bulat dan kuning itu dari jauh. Sementara itu, aku dan Levin panik sendiri. Beberapa saat kemudian, muncu sebuah kaki dan tangan dari dalam telur. Dengan bonus sebuah sayap seperti sayap kelelawar di punggungnya. Kami mulai bersembunyi di belakang meja.
“Duke, lepaskan saja itu dan sembunyi sini!” seru Levin gemetar. Duke diam saja. Tiba-tiba, ada suatu bunyi yang terdengar dari dalam telur itu.
“Ada orang?” kata suara itu “Ibu?”
Tiba-tiba, benda itu bergerak. Ternyata itu sebuah telur naga!?
“Siapa itu?” tanya Levin sambil mendekatinya.
Telur itu bergetar keras. “Hiee! Tolong! Ada manusia barbar!” teriaknya sambil meronta-ronta.
“Aduh!” teriak Duke karena tercakar “Hei, salah seorang bawakan tali!”
Tiba-tiba Cyrus maju kedepan “Tunggu Duke!” kata Cyrus “Coba kesinikan!”
Cyrus lalu mencoba mengelus-elusnya pelan “Sudah,sudah…” kata Cyrus pelan “Nah mudah kan? Ini…”
Tiba-tiba, telur itu meloncat dari pangkuan Cyrus dengan cepat. “Aku bukan bayi!” katanya “Sialan!”
Duke hanya geleng-geleng kepala “Hei jaga dong sikapmu!” kata Duke. Tiba-tiba, dia memandang Duke. Duke menyernyitkan dahi.
“Tunggu,” katanya “Rasanya aku mengenalmu…”
Duke menyernyitkan dahinya lagi “Siapa? Aku?” kata Duke pelan “Aku sungguh tak mengerti…”
“Ah iya!” serunya “Kau yang kulihat pertama kali!”
Kami terdiam. Aku langsung membuka buku dengan cepat. “Berdasarkan pengalamanku, semua binatang yang baru menetas selalu menganggap apapun yang baru saja dilihatnya pertama kali sebagai ortunya,” jelasku. Levin mendekat.
“Jadi?” tanya Levin pelan.
“Jadi, ya berarti,” kataku pelan “Duke, adalah orang tua ‘angkat’nya…”
Kami terkejut. “Masa? Aku orang tuanya?” tanya Duke tak percaya “Uh, ya sudah, sini… emm…”
“Ah kalau nama aku punya sendiri kok,” kata telur itu “Aku, Drafy, anak naga…”
“Dari mana tuh…?” tanyaku pelan. Drafy memandangku.
“Aku senang nama itu,” katanya pendek. Aku hanya geleng-geleng saja.
“Kalau begitu bagus!” kata Duke senang “Ayo! Kita rayakan dengan masuknya 2 anggota baru! Cyrus dan Drafy!”
“Hey tunggu!” kataku “Nanti kita bilang apa pada pak kepala?”
“Ah tenang saja!” kata Levin “Aku bisa menegaskan kakekku kok!”
“Kenalkan, aku Cyrus,” kata Cyrus mendekati Drafy. Drafy memandangnya pelan.
“Cyprus?” kata Drafy pelan. Cyrus membantu. Beberapa saat kemudian, terdengar teriakan Drafy entah darimana.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Kami saling bersulang. Sementara aku hanya duduk-duduk melihat mereka berpesta seperti tempo hari. Drafy dan Cyrus… dua anggota baru yang sepertinya akan membuat Workshop ini tambah seru. Tapi…?
***
To be Continued...