Minggu, September 06, 2009

Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran yang terjadi permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan.
A. Tipe gempa bumi

Gempa bumi tektonik disebabkan oleh perlepasan
tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Tenaga yang dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai kecacatan tektonik. Teori dari tektonik plate (plat tektonik) menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian besar area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan seperti salju. Lapisan tersebut begerak perlahan sehingga berpecah-pecah dan bertabrakan satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gempa tektonik. Gempa bumi tektonik memang unik. Peta penyebarannya mengikuti pola dan aturan yang khusus dan menyempit, yakni mengikuti pola-pola pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang menyusun kerak bumi. Dalam ilmu kebumian (geologi), kerangka teoretis tektonik lempeng merupakan postulat untuk menjelaskan fenomena gempa bumi tektonik yang melanda hampir seluruh kawasan, yang berdekatan dengan batas pertemuan lempeng tektonik. Contoh gempa tektonik ialah seperti yang terjadi di Yogyakarta, Indonesia pada Sabtu, 27 Mei 2006 dini hari, pukul 05.54 WIB.

B. Penyebab terjadinya gempa bumi

Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itu lah gempa bumi akan terjadi.
Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional.
Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada kedalaman lebih dari 600 km.
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan
magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan dari/ke dalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal. Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi

C. Sejarah gempa bumi besar pada abad ke-20 dan 21

2 September 2009, Gempa Tektonik 7,3 Skala Richter mengguncang Tasikmalaya, Indonesia. Gempa ini terasa hingga Jakarta dan Bali, berpotensi tsunami. Korban jiwa masih belum diketahui jumlah pastinya karena terjadi Tanah longsor sehingga pengevakuasian warga terhambat.
Kerusakan akibat gempa bumi di San Francisco pada tahun 1906
Sebagian jalan layang yang runtuh akibat gempa bumi Loma Prieta pada tahun 1989
12 September 2007 - Gempa Bengkulu dengan kekuatan gempa 7,9 Skala Richter
9 Agustus 2007 - Gempa bumi 7,5 Skala Richter
6 Maret 2007 - Gempa bumi tektonik mengguncang provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Laporan terakhir menyatakan 79 orang tewas [3].
27 Mei 2006 - Gempa bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006 kurang lebih pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Gempa bumi tersebut berkekuatan 5,9 pada skala Richter. United States Geological Survey melaporkan 6,2 pada skala Richter; lebih dari 6.000 orang tewas, dan lebih dari 300.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.
8 Oktober 2005 - Gempa bumi besar berkekuatan 7,6 skala Richter di Asia Selatan, berpusat di Kashmir, Pakistan; lebih dari 1.500 orang tewas.
26 Desember 2004 - Gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 skala Richter mengguncang Aceh dan Sumatera Utara sekaligus menimbulkan gelombang tsunami di samudera Hindia.
26 Desember 2003 - Gempa bumi kuat di Bam, barat daya Iran berukuran 6.5 pada skala Richter dan menyebabkan lebih dari 41.000 orang tewas.
21 Mei 2002 - Di utara Afganistan, berukuran 5,8 pada skala Richter dan menyebabkan lebih dari 1.000 orang tewas.
26 Januari 2001 - India, berukuran 7,9 pada skala Richter dan menewaskan 2.500 ada juga yang mengatakan jumlah korban mencapai 13.000 orang.
21 September 1999 - Taiwan, berukuran 7,6 pada skala Richter, menyebabkan 2.400 korban tewas.
17 Agustus 1999 - barat Turki, berukuran 7,4 pada skala Richter dan merenggut 17.000 nyawa.
25 Januari 1999 - Barat Colombia, pada magnitudo 6 dan merenggut 1.171 nyawa.
30 Mei 1998 - Di utara Afganistan dan Tajikistan dengan ukuran 6,9 pada skala Richter menyebabkan sekitar 5.000 orang tewas.
17 Januari 1995 - Di Kobe, Jepang dengan ukuran 7,2 skala Richter dan merenggut 6.000 nyawa.
30 September 1993 - Di Latur, India dengan ukuran 6,0 pada skala Richter dan menewaskan 1.000 orang.
12 Desember 1992 - Di Flores, Indonesia berukuran 7,9 pada skala richter dan menewaskan 2.500 orang.
21 Juni 1990 - Di barat laut Iran, berukuran 7,3 pada skala Richter, merengut 50.000 nyawa.
7 Desember 1988 - Barat laut Armenia, berukuran 6,9 pada skala Richter dan menyebabkan 25.000 kematian.
19 September 1985 - Di Mexico Tengah dan berukuran 8,1 pada Skala Richter, meragut lebih dari 9.500 nyawa.
16 September 1978 - Di timur laut Iran, berukuran 7,7 pada skala Richter dan menyebabkan 25.000 kematian.
4 Maret 1977 - Vrancea, timur Rumania, dengan besar 7,4 SR, menelan sekitar 1.570 korban jiwa, diantaranya seorang aktor Rumania Toma Caragiu, juga menghancurkan sebagian besar dari ibu kota Rumania, Bukares (Bucureşti).
28 Juli 1976 - Tangshan, Cina, berukuran 7,8 pada skala Richter dan menyebabkan 240.000 orang terbunuh.
4 Februari 1976 - Di Guatemala, berukuran 7,5 pada skala Richter dan menyebabkan 22.778 terbunuh.
29 Februari 1960 - Di barat daya pesisir pantai Atlantik di Maghribi pada ukuran 5,7 skala Richter, menyebabkan kira-kira 12.000 kematian dan memusnahkan seluruh kota Agadir.
26 Desember 1939 - Wilayah Erzincan, Turki pada ukuran 7,9, dan menyebabkan 33.000 orang tewas.
24 Januari 1939 - Di Chillan, Chile dengan ukuran 8,3 pada skala Richter, 28.000 kematian.
31 Mei 1935 - Di Quetta, India pada ukuran 7,5 skala Richter dan menewaskan 50.000 orang.
1 September 1923 - Di Yokohama, Jepang pada ukuran 8,3 skala Richter dan merenggut sedikitnya 140.000 nyawa.

D. Persiapan menghadapi gempa bumi

- Persiapan untuk keadaan darurat
- Menentukan tempat-tempat berlindung yang aman jika terjadi gempa bumi. Tempat berlindung yang aman adalah tempat yang yang dapat melindungi anda dari benda-benda yang jatuh atau mebel yang ambruk, misalnya di bawah meja.
- Menyediakan
air minum untuk keperluan darurat. Bekas botol air mineral dapat digunakan untuk menyimpan air minum. Kebutuhan air minum biasanya 2 sampai 3 liter sehari untuk satu orang.
- Menyiapkan
tas ransel yang berisi (atau dapat diisi) barang-barang yang sangat dibutuhkan di tempat pengungsian. Barang-barang yang sangat diperlukan dalam keadaan darurat misalnya:
Lampu senter berikut
baterai cadangannya
Air minum
- Kotak P3K berisi obat menghilangkan rasa sakit, plester, pembalut dan sebagainya
Makanan yang tahan lama seperti biskuit
- Sejumlah
uang tunai
- Buku tabungan
-
Korek api
-
Lilin
-
Helm
- Pakaian dalam
- Barang-barang berharga yang harus dibawa di saat keadaan darurat
- Mengencangkan
mebel yang mudah rubuh (seperti lemari pakaian) dengan langit-langit atau dinding dengan menggunakan logam berbentuk siku atau sekrup agar tidak mudah rubuh di saat terjadi gempa bumi
- Mencegah kaca jendela atau kaca lemari pakaian agar tidak pecah berantakan di saat gempa bumi dengan memilih kaca yang kalau pecah tidak berserakan dan melukai orang (Safety Glass) atau dengan menempelkan kaca
film
- Mencari tahu lokasi tempat evakuasi dan rumah sakit yang terdekat. Jika pemerintah setempat tidak mempunyai tempat evakuasi, pastikan anda tidak pergi ke tempat yang lebih rendah atau tempat yang dekat dengan pinggir
laut/sungai untuk menghindari tsunami Ketika Terjadi Gempa Bumi
- Matikan api
kompor jika anda sedang memasak. Matikan juga alat-alat elektronik yang dapat menyebabkan timbulnya api. Jika terjadi kebakaran di dapur, segera padamkan api dengan menggunakan alat pemadam api. Jika tidak mempunyai pemadam api gunakan pasir atau karung basah
- Membuka
pintu dan mencari jalan keluar dari rumah atau gedung
- Cari informasi mengenai gempa bumi yang terjadi lewat
televisi atau radio
- Utamakan keselamatan terlebih dahulu, jika terjadi kerusakan pada tempat Anda berada, segeralah mengungsi ke tempat pengungsian terdekat
- Tetap tenang dan tidak terburu-buru keluar dari rumah atau gedung. Tunggu sampai gempa mereda, dan sesudah agak tenang, ambil tas ransel berisi barang-barang keperluan darurat dan keluar dari rumah/gedung menuju ke lapangan sambil melindungi kepala dengan helm atau barang-barang yang dapat digunakan untuk melindungi kepala dari benturan reruntuhan.
- Jika anda harus berjalan di tengah jalan raya, berhati-hatilah terhadap papan reklame yang jatuh, tiang
listrik yang tiba-tiba rubuh, kabel listrik, pecahan kaca, dan benda-benda yang berjatuhan dari atas gedung
- Pastikan tidak ada anggota keluarga yang tertinggal pada saat pergi ke tempat evakuasi. Jika bisa ajaklah tetangga dekat Anda untuk pergi bersama-sama
- Jika gempa bumi terjadi pada saat Anda sedang menyetir kendaraan, jangan sekali-kali mengerem dengan mendadak atau menggunakan rem darurat. Kurangilah kecepatan secara bertahap dan hentikan kendaraan anda di bahu jalan. Jangan berhenti di dekat pompa bensin, di bawah kabel bertegangan tinggi, atau di bawah jembatan penyeberangan.

Rabu, September 02, 2009

Gempa Pukul 14:55.02 Mengguncang Jawa!

Sore itu, hari sudah agak gelap. Apalagi kaset Game yang saya beli tidak jalan juga. Sehingga, sore itu penuh kejengkelan yang bertumpuk-tumpuk.
Sekitar pukul tiga kurang (14:54.10) tiba-tiba, saya mulai bergoyang. Awalnya, saya kira itu adalah pekerjaan adik saya yang sepertinya sedang loncat-loncat di lantai dua. Lama-lama, ibuku teriak-teriak. Ternyata, saat itu sedang gempa! Kami lalu seraya berlari keluar dengan cepat. Semua tetangga lainnya sudah berada diluar. berteriak-teriak dan berdoa. Mereka semua saling berpelukan satu sama lain.
Beberapa menit kemudian, gempa pun berhenti. Walaupun benda-benda yang tergantung sudah mulai stabil, kami masih saja seperti orang yang linglung. Beberapa menit kami tetap diluar. Waspada bila ada gempa susulan. Agar lebih pasti, saya masuk kedalam rumah untuk menyalakan TV, dan melihat apa yang terjadi. Ternyata, memang ada gempa yang cukup besar! Saya juga mencoba menghubungi teman saya di Bandung, namun, sepertinya kabel teleponnya putus (?).
Gempa yang sebesar 7,3 Skala Ritcher (SR) itu terjadi di 142 km di barat daya Tasikmalaya atau berada di bawah laut dengan letak hiposentrumnya berada di kedalaman 30 km dari permukaan tanah. Gempa itu juga katanya berpotensi untuk menimbulkan Tsunami. Menurut beberapa orang diluar Rancaekek, bandung, katanya ada gempa susulan di Bogor, maupun di daerah Bandung dan Jakarta. Bahkan di Jakarta sepertinya lebih heboh dibandingkan di Rancaekek sini.
Katanya sih, ada gempa pukul 8 kurang tadi pagi berkekuatan sekitar 5,0 SR. Tapi, saya tidak tahu-menahu soal itu karena tidak terasa oleh saya.
Yah, kelanjutannya akan diselidiki beberapa saat lagi. Berhubung baru saja terjadi...

Jumat, Agustus 28, 2009

BAB 2 FRESHMEN FINAL TEST

Beberapa bulan telah berlalu, kini, kami memasuki akhir tahun! Naik kelas iyey!
“Baiklah, itu saja untuk hari ini,” kata pak Klapper selesai mengajar beberapa minggu sebelum tes itu “Oh iya, bapak hanya mengingatkan saja ya, dua bulan ke depan adalah tes kenaikan kelas. Jadi, jangan hanya berdiam diri, dan bermain-main saja ya!”
Setelah itu, pak Klapper pergi dari kelas. Aku mendekati Nay sesaat sebelum dia keluar.
“Emm, Nay…” panggilku pelan.
Nay menoleh “Apa?” tanyanya pelan juga “Tumben suaramu kecil? Biasanya menggelegar.”
“Oh kamu sudah tidak marah?” kataku tersenyum.
“Hah? Marah kenapa?” tanyanya balik tanya.
“Oh tidak, soal undangan Workshop tempo dulu itu,” kataku.
Nay tersenyum “Ah enggak apa-apa kok,” katanya pelan “Sudahlah, yang sebelah situ enggak usah di bahas lagi, ok?”
Aku tersenyum “Ok,” kataku pendek sekali.
“Ya sudah, aku mau mengerjakan PR dulu, jadi sekarang buru-buru,” katanya lagi sambil berlalu “Daag!”
Aku melambaikan tanganku sebentar. Yah, untung saja hubunganku dengannya masih baik. Nah, waktunya ke Workshop ah!

***

Sementara itu, di Workshop, Levin dan Duke sedang mencoba membuat sesuatu.
“Bleh, salah mungkin,” kata Duke sambil melihat cairannya “Memang harus seperti ini ya?”
“Masa?” tanya Levin sambil membaca kembali bukunya “Disini tertulis ‘cut into pieces…’ artinya dipotong hingga kecil-kecil kan?”
“Bukan!” seru Duke “Maksudnya itu dipotong besar-besar!”
Sementara mereka ribut, aku datang.
“Halo all!” sapaku “Sedang apa?”
“Membuat item!” seru Duke tanpa menoleh “Wak! Gagal lagi…”
Aku mendekati mereka “Kesinikan bukunya,” kataku sambil mengambil bukunya dari tangan Levin “Nah masalah kalian ada pada bagian mana?”
“Semuanya kakak,” kata Levin “Kami bingung gagal terus dari tadi…”
“Kakak?” kataku pelan “Oh yee, kalau begitu, mari kita buat dari awal.”
Kami lalu membuatnya dari awal. Sesuai panduan, aku menerjemahkannya. Sampai masalah tadi.
“Potong hingga bagian-bagian…” bacaku pelan-pelan.
“Fo, potongnya sebesar bagaimana?” tanya Duke “Kami tadi ribut di sekitar situ.”
“Ha? Sudah jelas kalimatnya ‘Cut into pieces until it become 4 pieces’ jelas empat bagian lah!” kataku. Duke dan Levin saling pandang.
“Oh begitu…” kata Levin pelan “Pantas saja…”
“…Gagal terus?” sambungku “Sebagai seorang Alchemist, kita harusnya membacanya hingga selesai, jangan setengah-setengah ok?”
Levin dan Duke garuk-garuk kepala. Kami lalu melanjutkan sintesis itu hingga hampir selesai.
“Whew, kok bisa jadi ya?” tanya Duke heran “Wah memang kalau tanpa buku panduan dia susah di andalkan.”
“Hei apa maksudnya dengan itu?” seruku “Aku juga kan berusaha keras!”
Levin berdiri “Eh Fo, bagaimana… hubunganmu dengan Nay?” tanya Levin “Sudah membaik?”
Aku terkejut “Hah? Tahu darimana?” tanyaku kaget.
“Ehm, dulu, ya aku tak sengaja mendengarnya,” kata Levin pelan “Soalnya, aku jadi merasa bersalah mengundangmu kesini hingga membuat Nay marah dan menubrukku di luar.”
Aku terdiam “Ah, sudah tak apa-apa kok,” kataku senang “Makasih deh sudah mengkhawatirkanku, tapi, masalah itu sudah beres!”
Levin tersenyum sedikit. Duke memandang kami dari jauh. Pelan-pelan, dia meninggalkan kami. Dia lalu memandang langit dari jendela sambil tersenyum. Aku dan Levin hanya diam menatapnya.
***
Beberapa minggu setelah itu, kami sudah menyelesaikan pelajaran kami. Jadi, kami libur hingga tes nanti!
Pagi itu, Levin terlambat sampai ke Workshop. “Ya ampun, aku keasyikan membuat enkripsi!” katanya sambil berlari “Apa ya kata teman-teman kalau aku terlambat?!”
Tapi ternyata, saat Levin tiba di Workshop, Duke hanya sendiri.
“Duke? Mana Foster?” tanya Levin setibanya disana “Dia terlambat?”
Duke menggeleng “Entahlah, sejak pagi, sejak di asrama, dia sudah hilang,” kata Duke sambil meletakkan peralatan labnya di meja.
“Lha? Tumben dia terlambat…” kata Levin pelan “Ada apa ya?”
Mereka diam sejenak “Levin, kita kan sudah menyelesaikan kelas kita,” kata Duke sambil berdiri “Bagaimana kalau kita berkeliling mencarinya?”
Levin tersenyum “Ide bagus!” katanya senang “Mari berkeliling! Kita mulai dari halaman kampus saja! Tempat favoritnya.”
Mereka berdua pun keluar dari Workshop itu. Lalu segera pergi mencari aku.
***
Levin dan Duke berjalan-jalan sekitar halaman kampus. Mereka menanyai semua orang yang ada disana. Sampai, ada informasi yang mengejutkan.
“Kalian mencari Foster?” tanya Enkampf “Tadi pagi, dia di bawa ke UKS sepertinya…”
Levin dan Duke kaget. Mereka langsung berlarian menuju ke UKS. Mereka cepat-cepat menyusuri lorong. Dan tiba di UKS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Ooh, Duke, Levin!” Seruku di depan ruang UKS “Kalian kenapa? Kok ngos-ngosan? Abis olahraga ya?”
Duke dan Levin lebih kaget lagi melihatku segar begitu “Bukan begitu!” Seru Duke “Justru kami yang sedang khawatir tentang kamu!”
“Aduh bikin kaget saja…” kata Levin “Kamu enggak apa-apa kan?”
Aku terdiam “Maksud kalian apa?” tanyaku pelan “Ah sudah dulu deh, aku ada keperluan, bye!” lanjutku sambil berlari meninggalkan mereka.
Levin dan Duke saling pandang. Sikapku hari ini aneh sekali sepertinya.
“Hei, dia kan keluar dari UKS,” kata Levin “Tanya ke bu Paisley saja.”
Duke mengangguk “Boleh saja,” jawabnya pendek. Lalu mereka memasuki UKS.
***
“Ah, aku mengerti… kalian mengkhawatirkannya ya?” kata bu Paisley pelan.
Mereka mengangguk “Sepertinya, dia hanya pingsan tadi pagi. Lalu dia di bawa kesini. Tapi kemudian, dia meminum suatu obat. Sehingga tadinya dia kaku, jadi kembali normal,” jelas bu Paisley “Tapi, maaf, ibu tidak tahu penyebabnya apa.”
Mereka terdiam lagi. “Oh begitu,” kata Levin pelan “Kalau begitu, ya sudah, maaf menganggu!” lanjutnya sambil keluar. Diikuti oleh Duke.
Setelah di luar, mereka semakin terdiam “Foster… apa dia mengidap penyakit yang parah ya?” tanya Levin khawatir.
“Entahlah,” kata Duke “Dia tak pernah bilang apa-apa.”
Mereka menghela nafas bersamaan “Hmm, aku agak capek…” kata Levin pelan “Aku mau pulang duluan ke asrama ya?”
Levin lalu berlalu. Tinggallah Duke sendirian “Foster, dia kenapa sih?” gumamnya pelan. Kemudian, dia berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Padahal, Aku mengamatinya dari jauh. Melihat mereka dengan cermat. Lalu aku menunduk.
“Hmm, ini tidak bagus, teman-teman sudah mengetahuinya,” gumamku “aku harus berusaha merahasiakan ini lebih dalam pada mereka…”
***
Beberapa minggu kemudian, aku dan Levin sedang bersintesis bersama. Sementara itu, Duke tidak datang karena katanya ada urusan.
“Ok, sekarang masukkan ikannya pelan-pelan…” kataku “Lalu kemudian, ambil cairannya, dan tebarkan bumbu yang sudah di sediakan di atasnya…”
“Oh bagus,” kata Levin sambil tersenyum “Nah sudah selesai! Lalu harus di apakan?”
“Diamkan dulu, sesudah itu, rebus selama 2 menit di panci sana,” kataku “Lalu berikutnya…”
Tiba-tiba, bu Betty datang mengetuk pintu. Wajahnya terlihat kesal. Kami langsung membuka pintunya.
“Permisi, apakah tuan Dunkstein ada disini?” katanya “Ada yang ingin saya bicarakan.”
Aku dan Levin saling pandang “Maaf bu, tapi hari ini, dia belum datang karena katanya ada urusan,” jawab Levin sopan “Memangnya kalau boleh tahu, ada apa dengannya?”
“Sudah kuduga,” gumamnya “Bilang saja, ibu menunggunya di ruang kepala besok. Maaf tapi, tanyakan saja padanya. Permisi,” sambungnya sambil pergi. Kami mengamati kepergiannya.
“Nah ada apa ya?” tanya Levin pelan “Tumben Duke buat masalah?”
“Dia mah, memang bermasalah,” kataku “Yah begitulah dia.”
Tiba-tiba terlihat bayangan dari pintu “Siapa yang bermasalah?” katanya. Kami terkejut. Yang berdiri di sana…. Duke!
“Hai Duke!” seru Levin “Kamu ada masalaah dengan bu Betty? Sepertinya beliau marah.”
Duke menghela nafas “Ooh, itu lagi…” katanya “Wah bosen aku sama masalah itu…”
Aku lalu mendekati Duke “Memangnya ada apa sih?” tanyaku penasaran “Aku tak menyangka kamu punya masalah dengan bu wakil kepala.”
“Bukan masalah besar sih,” jawabnya santai “Masalah kecil saja kok, soal berantem sama teman sekelas saja.”
Kami terkejut “Ha? Berantem dengan teman sekelas?” kata Levin tak percaya.
“Memang sudah kelihatan ya,” gumamku pelan.
“Yah begitulah aku, beda dengan kalian,” kata Duke “Yuk, sekarang mau ngapain?”
“Ehm, soal itu,” kata Levin pelan “Tadi bu Betty datang kesini untuk…”
“Memberimu tugas!” kata suara lagi di pintu. Di pintu, bu Betty sudah memasang wajahnya dengan baik “Ibu sudah tidak kuat mengenai komplen dari teman-teman dan gurumu. Berhubung kamu berasal dari keluarga penghasil bahan-bahan terbaik, kami tak bisa mengeluarkanmu. Jadi kami memutuskan memberimu tugas.”
Kami terdiam. Duke berdiri “Boleh, jadi tugas apa yang ingin di berikan padaku?” katanya.
“Ibu cukup dengan memberimu tugas untuk mencari ubur-ubur di pantai Sunset. Bawakan minimal 5 buah saja. Ibu tunggu di ruang ibu besok,” kata bu Betty “Jika besok tidak di berikan pada ibu, maaf, tapi, kami terpaksa mengeluarkanmu.”
Kemudian, bu Betty beranjak dari Workshop kami, kembali ke kehidupannya. Kami memandang Duke.
“Duke, memangnya kamu sudah punya pancingan?” tanya Levin pelan.
“Belum,” jawab Duke pendek. Kami terkejut.
“Apa maksudmu dengan berkata ‘belum’ semudah itu?” kataku pelan “Ayo, kita harus mencari pancingan!”
Levin tiba-tiba melamun. Lalu kemudian menjentingkan jarinya “Ooh! Kalau tidak salah, ayahku pernah bilang, tentang temannya ayahku yang tinggal di hutan,” kata Levin “Dia adalah Sigma, teman Workshop ayahku yang tadinya adalah penghuni hutan.”
“Oh begitu,” kataku pelan “Lalu, hutan sebelah mana?”
“Nah itu dia yang aku tak tahu,” kata Levin “Tapi, katanya kita hanya harus menyusuri pantai ke arah selatan dari pantai Sunset.”
“Kalau begitu, ayo kita berangkat!” kataku “Kamu ikut juga Duke!”
***
Kami sampai di pantai Sunset. Kami bertemu dengan Cyrus disana.
“Oh hai Foster, Duke, dan Levin!” sapanya sambil membawa sekantung kerang “Ada apa? Kalian sudah punya pancingan ya?”
Kami menggeleng “Justru kami tidak punya,” kata Duke “Hey kamu tahu Si…”
Levin langsung membekap mulut Duke. “Eeh, eh, tahu Si-Terra enggak? Dia kemarin meminjam peralatan lab kami….”
Cyrus menyernyitkan dahi “Oh, dia, dia sedang mencari Kayu di hutan utara sana,” jawabnya pelan.
Levin langsung mendorong kami ke belakang, keluar dari pantai sunset “Makasih Cyrus, dadah gud bay!” kata Levin sambil meninggalkannya. Cyrus memandangi kami dengan aneh. Lalu melanjutkan pencarian kerangnya.
“Phuaah!! Apa yang kamu lakukan!?” Seru Duke setelah mulutnya di buka.
“Maaf Duke,” kata Levin “Tapi, orang bernama Sigma ini mending jangan di sebar-luaskan.”
“Memangnya kenapa?” tanyaku “Tak ada salahnya kan menanyai seseorang? Apalagi Cyrus…”
“Bukan itu,” tukas Levin “Tempat Sigma ini… Sangat rahasia! Ayahku bilang, jangan sampai ada yang tahu tentang ini!”
Aku dan Duke saling pandang “Ok, kalau tak lewat pantai, lalu lewat mana?” tanya Duke. Levin terdiam sejenak.
“Kenapa kita tidak pergi ke selatan saja sekarang? Lalu belok ke kiri terus hingga ketemu pantai?” kataku panjang lebar. Levin dan Duke memandangku.
“Bagus!” kata Duke “Ayo cepat, sebelum sore.”
Kami lalu memasuki hutan timur. Pergi ke selatan. Lalu, ke arah timur setelah merasa agak jauh. Kami menemukan tepi laut. Lalu, kami menyusuri tepi pantai hutan timur itu. Terus ke selatan. Beberapa lama kemudian, kami melihat sebuah gubuk di kejauhan.
“Eh itu mungkin?” tunjukku ke depan “Ada gubuk yang kelihatannya sudah tua.”
Kami dengan segera mendekatinya. Tempat itu mungkin adalah tempat persembunyian Sigma dahulu kala! Tempat itu cukup indah. Airnya lebih bening dibandingkan di pantai Sunset. Ada perahu kecil dan dermaga kecil. Gubuknya terbuat dari kayu. Tertulis ‘Sigma’.
“Aha benar,” kata Levin senang “Ayo, kita cari pancingannya.”
Kami lalu menyusuri setiap detil gubuk dan dermaganya. Beberapa saat kemudian, kami berhasil menemukannya di perahu kecil tersebut.
“Aneh ya,” kata Levin “Padahal ini sudah sepertinya lama, tapi kelihatan masih bagus?”
“Hem mungkin Sigma memolesinya pakai alkemi?” dugaku “Seingatku, Alkemi dapat melakukan hampir semuanya.”
“Yah urusan begitu kita simpan nanti saja!” kata Duke “Ayo kita segera ke pantai Sunset untuk memancing!”
Kami kembali menyusuri pantai. Sebelum sampai di pantai Sunset, kami memasuki hutan, dan keluar di jalan menuju ke pantai Sunset, agar kami tidak di curigai. Kami langsung mencari tempat memancing yang enak. Cyrus sudah tidak ada.
“Ayo secepatnya,” kata Levin buru-buru “Fo, disini ada ubur-ubur apa?”
“Tenang saja Levin,” kata Duke sambil tiduran di karpet berjemur.
“Kami mengkhawatirkan kamu tahu!! Segarlah sedikit!!” teriak Levin histeris.
“Aku enggak ikutan deh,” kataku pelan “Oh iya, disini adanya ubur-ubur yang namanya 99% Water.”
“99% Water? Berarti air dong?” tanya Duke sambil melihat ke air.
“Kalian tak tahu? Ubur-ubur kan 98%-nya air lho,” jelasku.
“Ah sudahlah,” kata Duke “Cepetan pancing!”
Sejam kami menunggu. Untungnya ada hasilnya. Kami sudah mendapatkan 5 buah 99% Water!
“Bagus!” kata Levin senang “Nah sekarang, mari kita antar ini ke bu Betty!”
Kami langsung pergi sesegera mungkin menuju ke ruang kepala sekolah, dan menyerahkannya pada bu Betty. Tentu saja, bu Betty sangat terkejut karena kami begitu cepat memberikannya.
“Hmm, bagus,” gumam bu Betty pelan “Baiklah, Dunkstein! Tuduhanmu akan dilepaskan! Tapi, tolong jangan mengulangi perbuatan yang sama ya!”
Kami lalu bersorak. Karenanya, kami di usir oleh bu Betty keluar dari ruangan pak kepala yang pak kepalanya sedang ada rapat diluar. Kami lalu berjalan dengan senang menuju Workshop kami.
“Baguslah, masalahmu kini beres,” kata Levin “Mari, kita lanjutkan lagi sintesis kita yang…”
“Ya ampun!!” teriakku “Tadi kita meninggalkan sintesis kita tanpa mematikannya!!”
Levin terkejut. Kami langsung melambung jauh, terbang tinggi, ke Workshop kami. Duke hanya memandang kami dari jauh. Sambil tersenyum, dia berkata “Untung saja, mereka adalah temanku ya…”
***

Hari tes pun tiba. Pak Klapper berseri-seri melihat kami. “Baiklah, hari ini adalah tes akhir! Tak terasa kalian akan segeramenjadi Sophomore!” sambutnya “Sekalian di perhatikan, tes akhir selalu berkelompok dengan satu Workshop! Jadi, akrabkanlah diri kalian dengan Workshop kalian. Dan tentu saja, jangan libatkan kakak kelas kalian dalam melakukan ini!”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?” tanyaku pelan pada Nay.
“Entahlah,” jawabnya “Kuharap ber-dance ya?”
“Kamu berlebihan…” kataku pelan.
“Baiklah akan bapak umumkan tugas bagi kalian para Freshmen!” kata pak Klapper melanjutkan yang tadi “Kalian cukup mencari bahan-bahan yang jarang ada dan sangat jarang dilihat. Semakin sulit, nilai kalian semakin baik! Untuk mencari yang terbaik, kini, kalian diperbolehkan untuk menelusuri daerah Sophomore!”
Kami bersorak. “Baiklah, bapak harap kalian menemukan yang terbaik. Tulislah laporan kalian, lalu berikan pada bapak, nanti tiap wali kelas akan memeriksa Workshop kalian. Nah, tugas ini di kumpulkan 3 hari kedepan, jadi semoga berhasil ya! Oh iya, hati-hati karena area Sophomore berbahaya di malam hari, jadi bapak harap, kalian tidak berjalan pada malam hari ya!” lanjutnya. Lalu, kemudian, dia keluar dan kelas selesai.
Sesudah itu, aku mengobrol sebentar dengan Nay.
“Phew! Untung saja bukan ulangan,” kataku “Kalau ulangan aku enggak yakin bisa.”
“Ya aku juga,” kata Nay “Ya sudah, yuk kita ke Workshop masing-masing! Aku harus mendiskusikan tentang ini. Sampai jumpa!”
Aku melambai ke Nay. Aku menghela nafas. Duh, mesti kemana ya? Tiba-tiba, di pintu, Levin dan Duke sudah menunggu. Kami lalu segera pergi ke Workshop kami.
“Jadi? Bagaimana?” tanyaku “Apa kita meneliti danau Pulse?”
“Dimana itu?” tanya Levin “Maaf aku kurang kenal tempat itu.”
“Aku punya usul!” kata Duke. Kami memperhatikan Duke “Kalian tahu, dibawah gunung Frost, ada altar penyegelan. Nah, mungkin disitu kita dapat menemukan sesuatu!”
Levin tersenyum “Wah benar juga!” kata Levin “Baiklah, dimana itu?”
“Eh tapi tunggu!” kataku “Bukannya itu daerah Junior?”
Levin dan Duke terdiam “ah, pasti bisa dimasuki kan?” tanya Duke “Ayolah!”
“Aku tak tahu,” kataku “Biasanya ada sejenis pelindung yang menghalangi tingkat bawah seperti freshmen, sophomore…”
“Kalau begitu, ayo kita kesana!” kata Levin “Ayo kita coba dulu!”
Aku menghela nafas “Baik… aku ikut saja deh…” kataku. Lalu kemudian, kami bersiap-siap pergi ke gua altar penyegelan.
Sementara itu, di pintu, seseorang sedang mendengar kami “Hehehe, mau ke Gua Naga ya,” katanya sinis “Akan kuhentikan mereka nanti…”
***

Kami langsung pergi ke lapangan Everee.
“Bawa petanya?” tanya Duke.
“Ngg, aku bawa,” kata Levin “Eeh, aku bawa sih tapi...”
“Lalu? Kenapa ada tapinya?” tanya Duke.
“Ini kok, enggak kelihatan dimana kita,” kata Levin sambil membolak-balik petanya.
“Sini coba kulihat,” kataku. Tiba-tiba, aku memasang senyum garing “Levin… ini kan… Peta Dunia!”
“Hah!? Levin!!” Teriak Duke marah.
“Waa maaf! Mana kutahu kalau itu peta Dunia!” katanya.
“Duke, sabarlah!” kataku “Aku bawa petanya pulau Gebrida ini kok!”
“Mana coba kulihat,” kata Duke sambil meminta petanya. Kemudian melihatnya. Dan tersenyum garing “Foster bodoh! Ini kan peta Akademi! Mana peta pulaunya!!?”
Aku terkejut. Aku memeriksa tasku lagi “Ah, eh salah!” kataku “Yang benar yang ini.”
Duke mengambil petanya dari tanganku “Nah yang ini baru benar,” katanya “Jadi, dari sini ke hutan utara, lalu selusuri tebing hingga menemukan lubang.”
“Oh, nama tempatnya itu Gua Naga yah?” kata Levin pelan “Jadi penasaran ada apa disana.”
“Ayo, kita segera jalan!” kata Duke bersemangat. Kami bersorak. Lalu, kami memasuki hutan utara menuju ke Gua Naga.
Padahal di belakang kami, 2 orang sedang mengamati kami dengan mata yang tidak mengenakkan..
“Mereka bersemangat juga ya, Rose?” tanya seseorang pada temannya dengan nada jahat.
“Ohohoh! Benar Bart!” jawab yang perempuan dengan suara gemilang “Aku jadi sayang, harus menghentikan mereka!”
“Kalau begitu, ayo kita segera pergi ke Gua Naga,” kata Bart.
“Ayo!” seru Rose. Mereka berdua kemudian hilang di kegelapan hutan.
***

Kami melewati kayu-kayu yang sudah ditebang. Matahari sudah mulai bersembunyi di ufuk barat. Hari mulai gelap. Namun, kami tetap melanjutkan petualangan kami. Setelah beberapa saat, tersesat dulu tentunya, kami akhirnya sampai di depan Gua Naga tersebut.
“Nah aku tak tahu deh,” kataku “Pasti ada penghalang yang menghalanginya deh.”
“Kita tak akan tahu sebelum mencoba,” kata Duke “Ayo kita coba.”
“kita bergeraknya bersama-sama ok,” kata Levin. Kami mengangguk.
Suasana tegang seperti akan duel antar koboi ini sangat terasa. Kami lalu berjalan menuju ke dalam gua tersebut dengan iringan yang sama. Namun, saat di pintu masuknya saja, kami sudah terpental!
“Nah apa kubilang!” kataku sambil memegang kepalaku yang terbentur dengan sikut Duke “Kita tak bisa memasuki area Junior!”
Duke dan Levin terdiam. Memandang pintu masuk ke dalam altar Gua Naga. Tiba-tiba, ada bunyi langkah dari belakang.
“Kalau kalian benar-benar ingin masuk kesana, aku bisa membantu,” kata suara itu. Rasanya kami kenal dengan suara itu.
Orang itu keluar dari bayang-bayang hutan. Tersinari oleh sinar bulan sabit. Kami terkejut melihat orang yang datang itu. Itu kan Cyrus!
“Cyrus? Apa yang kau lakukan disini?” tanya Levin kaget. Cyrus tersenyum.
“Maaf aku datang tiba-tiba,” katanya “Sebenarnya, ada yang ingin kukatakan pada kalian!”
“Cyrus?” kataku pelan.
“Lalu apa maumu?” tanya Duke sambil berdiri.
Cyrus terdiam sebentar “Izinkan aku ikut dengan… Workshop kalian!” katanya. Kami terdiam lagi. “Maaf, tapi, sebenarnya, Workshop miliknya… Ada sesuatu yang kurang aku suka.”
“Umm, bagaimana ini…?” tanya Levin pada kami.
“Kan kamu ketuanya? Kenapa harus aku yang menentukan boleh tidaknya?!” seru Duke.
“Aku hanya bawahan, maaf ya,” kataku pendek.
Levin kembali memandang Cyrus. “Hem, menurut kalian bagaimana?”
“Aku sih, bolehlah,” kata Duke pendek.
“Boleh,” kataku lebih pendek lagi.
Levin menghela nafas “Ya sudah, boleh deh!” katanya. Cyrus melompat.
“Makasih banyak!” teriaknya “Aku sayang kalian!”
“Tapi, kenapa kamu ikut dengan kami?” tanyaku pelan “Kan masih banyak Workshop lainnya?”
“Hmm, begini,” kata Cyrus pelan “Sebenarnya…”
“Kau mendengar apa yang kami diskusikan kemarin ya?” kata seseorang di kegelapan hutan lagi. Kami menoleh. Cyrus tampak pucat. “Mereka… Datang untuk menghentikan kalian!” lanjutnya.
Kami menelan ludah. Dua orang tadi, datang bersamaan dari dalam hutan.
“Merekalah seniorku,” kata Cyrus “Mereka adalah Bart, dan Rose, pemilik Workshop Bartheno!”
Bart dan Rose tersenyum. “Akhirnya ketemu!” teriak Bart “Levin Valbelumona!”
Levin memasang muka marah “Kalian…” geramnya pelan. Sementara itu, aku dan Duke saling pandang.
“Siapa mereka?” tanyaku pelan pada Levin.
“Mereka adalah musuh lama ayahku,” jelas Levin “Ayah mereka pernah menjadi rival ayahku, dan sering menganggu ayahku.”
“Ohhohoho! Bukannya itu kata-kata yang terlalu kejam untuk seorang ‘Valbelumona’?” sindir Rose dengan nada yang kurang enak.
“Baik, sepertinya pembicaraan ini mulai menyimpang,” kata Bart “Bagaimana kalau kita akhiri disini Rose?”
“Baiklah!” jawab Rose. Mereka mendekati kami sambil mengeluarkan senjata mereka.
“Hei, hei, apa yang ingin kalian lakukan?” tanyaku kaget “Kalian mau melawan kami?”
“Sudahlah, Foster,” kata Duke sambil berdiri dan menonjok tangannya sendiri “Aku tak tahu siapa mereka, tapi, kurasa mereka adalah musuh!”
“Cyrus, bisa diam di belakang?” kata Levin sambil mengeluarkan sesuatu dari sarung pedangnya. Dia mengeluarkan sebuah pedang bambu yang mengkilat!
“Tidak!” kata Cyrus “Mereka ternyata juga musuh ibuku selama ini, aku akan membantumu!” lanjutnya sambil membuat sebuah tongkat dari sinar-sinar yang mengelilinginya. Aku terdiam melihatnya.
Tinggal aku sendiri bingung pusing kepala. “Ah, baiklah, selama ini tidak ada masalah dengan akademia…” kataku pelan sambil mengeluarkan binder dari dalam jaketku.
“Hehehe, kalian sudah siap?” kata Bart “Untuk mati!”
Pertarungan pun tak dapat dihindari…
***

Beberapa menit kemudian, rupanya, gabungan kami berhasil mengalahkan mereka!
“Uh, Urrg!” erang Bart “Kalian akan menerima balasannya!”
“Rambutku! Rambutku yang cantik!” jerit Rose melihat rambutnya yang acak-acakan “Awas kalian! Nantikan balas dendamku!”
Setelah berkata demikian, mereka pun kabur. Kami menghela nafas bersama.
“Phew, aku tak menyangka kita bisa menang…” kataku sambil kembali menyimpan binderku.
“Ah sudahlah,” kata Levin sambil kembali meletakkan pedangnya “Jangan pedulikan mereka, ayo kita fokus dulu pada cara masuk ke dalam gua itu.”
“Jadi, kalian benar-benar ingin masuk kesana?” tanya Cyrus. Kami mengangguk.
“Ayo Cyrus,” kata Duke “Jangan hanya diam saja, ayo lakukan sesuatu!”
Cyrus lalu mengangguk. Lalu kemudian, dia mendekati pintu tersebut. Kemudian, dia berusaha melakukan sesuatu dengan tongkatnya. Kemudian, tiba-tiba terlihat ada lubang besar di pintu masuknya!
“Ayo teman-teman!” teriak Cyrus “Masuklah cepat!”
Kami langsung berlari memasuki lubang itu. Cyrus lalu meloncat masuk kedalam gua bersama kami.
“Untunglah!” kata Levin senang “Makasih Cyrus!”
“Eng, lalu keluarnya bagaimana?” kataku sambil membetulkan letak kacamataku yang miring.
“Tenang saja, kita dapat keluar dengan hanya melewatinya saja kok,” kata Cyrus “Kalau begitu, ayo kita lanjutkan kedalam.”
Kami lalu masuk kedalam. Di sepanjang perjalanan, banyak obor yang diletakkan sehingga tidak sulit melihat jalan. Kami lalu terhenti di depan danau bawah tanah yang cukup besar.
“Kalau tidak salah, ini adalah danau bawah tanah Naga,” jelasku “Disini, airnya hangat. Sehingga di percaya ada naga yang tinggal di dalamnya.”
Mereka saling pandang “Kalau begitu, ayo kita berpencar saja,” kata Levin “Cari barang-barang yang aneh, lalu kita kumpul di depan obor ini ok.”
Kami lalu saling mengangguk. Lalu berpencar.
Levin menyusuri sepanjang dinding. Dia memperhatikan dinding-dinding yang berkilauan. Sepertinya disini terdapat banyak tambang yang cukup bagus. Dia berusaha mencabutnya. Namun, dia sendiri malah terpental tanpa mendapatkan apa-apa. Levin melihat ke sampingnya. Ada sebuah beliung disana! Levin lalu menggunakannya ke dinding. Dia lalu mengambil sebuah batu yang cukup berkilauan. Lalu, kemudian, dia pergi darisana.
Sementara itu, aku menelusuri ujung gua. Aku sampai di altar penyegelan. Aku berkeliling di sana. Memperhatikan dupa dan persembahan di sana sini. Ruangan disini lebih terang dibandingkan di lorong tadi. Aku meneliti batu-batu di atas altar pengorbanan. Batu bulat yang indah. Aku kemudian membawanya keluar dari sana.
Duke mendekati tepi danau itu. Kemudian, dia mengeluarkan pancingannya. Kemudian memancing. Hampir dia mengantuk selama itu. Namun, tiba-tiba, kailnya bergoyang. Duke lalu mencoba menariknya dengan seluruh kekuatannya. Ketika ditarik, ternyata itu adalah benda bulat yang bentuknya seperti telur. Tapi, yang ini besar. Duke lalu membawanya pergi dari sana.
Cyrus meneliti tanahnya pelan-pelan. Melihat-lihat mungkin ada tanah yang gembur untuk di gali. Agak lama memang dia mencarinya. Sampai suatu sisi, dia menemukan sebuah tanah yang gembur yang bisa digali. Kemudian, Cyrus mengeluarkan sekop mininya. Lalu mulai menggali disana. Ia menemukan sebuah kristal bulat yang cukup indah. Ia lalu membawanya pergi dari situ.
***

Kami lalu berkumpul dibawah obor tadi.
“Bagaimana?” tanya Levin.
“Yah bulat deh,” kataku sambil memperlihatkan benda bulat itu.
“Kok sama ya?” tanya Cyrus kaget.
“Aku juga,” tambah Duke.
Kami lalu saling pandang satu sama lain. Lalu, kemudian kami bergegas keluar darisana karena kami mendengar suara langkah orang banyak. Jadi, kami memutuskan untuk menelitinya di Workshop kami.
***

Kami lalu sampai di Workshop beberapa menit setelah itu. Kami lalu mengeluarkan benda bulat kami masing-masing.
“Hem,” kataku sambil memperhatikan kristal milik Levin “Ini, Grandite, kristal bawah tanah yang cukup bagus. Namun, ini cukup mudah di temukan.”
Kami lalu terdiam. Lalu menghela nafas bersama.
“Hem,” kataku sambil memperhatikan kritstal bulatku “Ini, Raw Asclion Ore, kristal yang belum di apa-apakan dan kurang begitu menarik.”
Kami lalu terdiam. Lalu menghela nafas bersama lagi.
“Hem,” kataku sambil memperhatikan kristal temuan Cyrus “Ini, Avellian Copper, tembaga yang jarang ada. Cukup tinggi di pasaran. Wow, ini benda yang bagus Cyrus!”
Cyrus tersenyum. “Baik, ayo kita ambil ini saja sebagai bahan untuk nanti!” kata Levin bersemangat.
“Eh tunggu!” kata Duke “Bagaimana dengan temuanku?”
Kami saling pandang “Baiklah,” kataku “Akan kuperiksa… Walaupun sia-sia…”
Kemudian, aku meneliti benda tersebut. Memutar-mutarnya. Tiba-tiba, aku menyernyitkan dahi. “Tunggu, aku tak pernah melihat sesuatu seperti ini?” kataku.
“Yah, mana kutahu,” kata Duke “Aku mendapatkannya waktu memancing tadi itu…”
Tapi, tak sengaja, aku menyenggol benda bulat tersebut. Itu pun jatuh kebawah. Terdengar suara retakan sesuatu.
“Arrrrgh! Hey, itu kan penemuanku!” seru Duke marah “Kenapa kamu menjatuhkannya!?”
Aku jadi panik sendiri. Duke langsung mengambilnya. “M-maaf! Aku tak sengaja lho!” kilahku “Maaf sekali Duke, bukan berarti aku…”
Tiba-tiba, Cyrus menjerit. “Hah? Ada apa?” tanya Levin ikut kaget.
Cyrus perlahan-lahan menunjuk ke benda penemuan Duke itu “Itu, ma…mata!” katanya. Aku dan Levin memandang benda itu. Duke ikut memandangnya.
Kami sangat terkejut ketika melihat ada sinar di kegelapan hitam di dalam telur yang bolong tersebut. Duke langsung menjauhkan lengannya. Memperhatikan mata bulat dan kuning itu dari jauh. Sementara itu, aku dan Levin panik sendiri. Beberapa saat kemudian, muncu sebuah kaki dan tangan dari dalam telur. Dengan bonus sebuah sayap seperti sayap kelelawar di punggungnya. Kami mulai bersembunyi di belakang meja.
“Duke, lepaskan saja itu dan sembunyi sini!” seru Levin gemetar. Duke diam saja. Tiba-tiba, ada suatu bunyi yang terdengar dari dalam telur itu.
“Ada orang?” kata suara itu “Ibu?”
Tiba-tiba, benda itu bergerak. Ternyata itu sebuah telur naga!?
“Siapa itu?” tanya Levin sambil mendekatinya.
Telur itu bergetar keras. “Hiee! Tolong! Ada manusia barbar!” teriaknya sambil meronta-ronta.
“Aduh!” teriak Duke karena tercakar “Hei, salah seorang bawakan tali!”
Tiba-tiba Cyrus maju kedepan “Tunggu Duke!” kata Cyrus “Coba kesinikan!”
Cyrus lalu mencoba mengelus-elusnya pelan “Sudah,sudah…” kata Cyrus pelan “Nah mudah kan? Ini…”
Tiba-tiba, telur itu meloncat dari pangkuan Cyrus dengan cepat. “Aku bukan bayi!” katanya “Sialan!”
Duke hanya geleng-geleng kepala “Hei jaga dong sikapmu!” kata Duke. Tiba-tiba, dia memandang Duke. Duke menyernyitkan dahi.
“Tunggu,” katanya “Rasanya aku mengenalmu…”
Duke menyernyitkan dahinya lagi “Siapa? Aku?” kata Duke pelan “Aku sungguh tak mengerti…”
“Ah iya!” serunya “Kau yang kulihat pertama kali!”
Kami terdiam. Aku langsung membuka buku dengan cepat. “Berdasarkan pengalamanku, semua binatang yang baru menetas selalu menganggap apapun yang baru saja dilihatnya pertama kali sebagai ortunya,” jelasku. Levin mendekat.
“Jadi?” tanya Levin pelan.
“Jadi, ya berarti,” kataku pelan “Duke, adalah orang tua ‘angkat’nya…”
Kami terkejut. “Masa? Aku orang tuanya?” tanya Duke tak percaya “Uh, ya sudah, sini… emm…”
“Ah kalau nama aku punya sendiri kok,” kata telur itu “Aku, Drafy, anak naga…”
“Dari mana tuh…?” tanyaku pelan. Drafy memandangku.
“Aku senang nama itu,” katanya pendek. Aku hanya geleng-geleng saja.
“Kalau begitu bagus!” kata Duke senang “Ayo! Kita rayakan dengan masuknya 2 anggota baru! Cyrus dan Drafy!”
“Hey tunggu!” kataku “Nanti kita bilang apa pada pak kepala?”
“Ah tenang saja!” kata Levin “Aku bisa menegaskan kakekku kok!”
“Kenalkan, aku Cyrus,” kata Cyrus mendekati Drafy. Drafy memandangnya pelan.
“Cyprus?” kata Drafy pelan. Cyrus membantu. Beberapa saat kemudian, terdengar teriakan Drafy entah darimana.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Kami saling bersulang. Sementara aku hanya duduk-duduk melihat mereka berpesta seperti tempo hari. Drafy dan Cyrus… dua anggota baru yang sepertinya akan membuat Workshop ini tambah seru. Tapi…?
***
To be Continued...

Kamis, Agustus 20, 2009

BAB 1 THE ALCHEMIST

Burung-burung menyanyi dengan riang, awan-awan berkejaran dengan pelan di atas sana, sendari tadi, cuaca cerah membuka jubahnya dengan sangat lebar. Sehingga, hari pun cerah sentosa. Begitu juga dengan hatiku saat ini. Cerah bagai sinar matahari yang memandikanku hari ini.
“Hey Nay,” kataku sambil berbalik, menengok pada teman baikku, walau dia perempuan, “Indah kan? Ah… Seandainya Kevyn juga ikut.”
Nay diam sambil melihatku “Bukan begitu, Foster…” katanya dengan nada pelan “Masalahnya, dia langsung memilih kerja, dibandingkan masuk kuliah…”
“Yah, aku harap sih, kita bisa bertiga ya…” kataku sambil mendengus pelan. Angin mulai mendesir di depan wajahku.
Saat ini, kami sedang menuju ke pulau terpencil, khusus tempat kuliah Alkimia, tempat kami akan bersekolah. Pulau ini dinamai pulau Gebrida. Kampusnya bernama Akademi Seinwalk, ber-motto-kan “Nós Podemos Fazer Melhor!” yang artinya, Kita bisa lebih baik! Sebagian besar, daerah ini di dominasi oleh hutan, dan berlatarkan pegunungan di belakangnya. Tapi, pulau ini entah mengapa mempunyai misteri, yaitu, daerah kering di belakang pegunungan tersebut. Tak pernah ada seorang pun yang pernah di ijinkan untuk pergi kesana.
“Halo semuanya!” kata speaker yang berbunyi di belakanga kami. Aku langsung meloncat saking kagetnya.
“Lebay deh,” sahut Nay sambil memandangku. Aku hanya tersenyum pelan.
“Sebentar lagi, kita akan segera sampai di pulau Gebrida,” kata suara itu lagi “Siapkanlah, barang-barang anda, jangan sampai ada yang ketinggalan! Sampai jumpa 3 tahun ke depan!” Aku dan Nay langsung bergegas menuju ke kabin kami untuk membawa barang-barang kami. Setelah berpisah menuju ke kabin kami, aku, yang sedang berlari kecil, menubruk seseorang dengan keras. Namun, aku saja yang terpental.
“Ah! Maaf!” kataku sambil menunduk-nunduk. Lalu kemudian, berlari secepat kilat menuju ke kabinku. Orang yang berbadan besar tadi hanya memandangku dengan penuh sidik. Lalu kembali berbalik, dan melanjutkan jalannya.
Aku langsung memasukkan segalanya ke dalam tas dan ranselku dengan cepat. Lalu kemudian bergegas keluar dari sana. Sebelum aku menutup pintu, aku memandang kamar itu untuk terakhir kalinya. Aku tersenyum kecil. Lalu, aku berlari dengan semangat menuju ke haluan.
***

Nay sudah berdiri di sana dengan topi koboinya. Alasannya ya mana kutahu. Mau dicari tahu pun, sepertinya tak terlalu menarik untukku.
Kami pun berjalan bersama menuju ke akademi yang ada di seberang hutan. Kami berjalan beriringan. Kami semua bersenda gurau dengan gembira. Membicarakan apa yang mungkin akan terjadi nantinya. Segalanya terasa indah. Pemandangan gunung di depan kami sangat menusuk hatiku. Senang, maksudnya.
Saat kami tiba di depan gerbang, salah seorang guru di sana meminta kami untuk berbaris. Rupanya, ada pemeriksaan, “Tipe” seperti apakah kami ini.
“Ini agar kami mengerti apa yang harus kami lakukan untuk kalian!” Jawab guru itu sambil tersenyum garing.
Kami lalu memasuki sebuah alat yang terbagi tiga. Membuat barisan itu lebih cepat. Saat melewati itu, kami memasuki halaman depan sekolah. Kami lalu di suruh untuk pergi ke aula untuk masa orientasi. Setelah berkumpul, kami lalu mendengar pidato pak kepala selama beberapa jam. Lalu, setelah selesai, aku berjalan berdua dengan Nay.
“Wah, tadi itu panjang sekali!” kataku sambil menjulurkan lidah “Untunglah sekarang sudah selesai…”
Nay melirikku dengan pandangan yang kurang pas “Perilaku seperti itu tuh yang kurang aku suka.” Jawabnya pelan.
“Malah sepertinya aku yang lebih tidak suka diriku,” kataku sambil memandang ke depan “Hem, mungkin aku memang seperti itu ya…”
Kami lalu berjalan dengan bisu. Lalu kemudian, kami berpisah. Nay ke asrama perempuan, dan tentu saja aku ke bagian laki-laki. Ah, tempat tidur.
Aku mengamati sebentar gedung asrama ini. Rasanya, Déjà vu terus terasa sejak aku sampai di pelabuhan, namun, aku malas membicarakannya dengan siapa pun. Angin mulai mendesir memaksaku masuk ke dalam. Aku pun langsung masuk kedalam.
Ada 2 lantai ternyata. Nomor kamarku yang ku terima tadi saat upacara orientasi menunjukkan, bahwa aku mulai sekarang tinggal di ruang 807. Pasti lantai 2! Pikirku. Aku lalu mulai menaiki tangga dengan segan. Pandangan mata tak sedap mulai memperhatikanku dari balik tirai. Untungnya, ruang 807 berada tepat di depan mukaku.
Binggo! Teriakku dalam hati. Aku membuka pintunya dengan cepat. Hah? Lho? Terkunci? Ah! Aku lupa kuncinya!
“Aduh, aku taruh dimana ya? Aduh…” kataku sambil mengobrak-abrik tas dan ransel di depan kamarku. Ternyata, aku seharusnya mengambil kuncinya di resepsionis depan. Terpaksa aku harus kembali ke depan akademi sekali lagi.
Beberapa jam kemudian, aku sudah hampir kehilangan nafas. Berlari dengan ransel yang berat tidak terlalu mudah. Namun, aku lebih terkejut karena kamarku tidak dikunci. Setelah dibuka, akhirnya aku mengerti. Bahawa tiap kamar adalah sarang bagi 2 orang! Di kasur yang satu lagi, ada orang sedang tidur. Badannya besar… Aku lalu meletakkan ranselku di dekat kasurku sendiri. Namun, saat orang itu berbalik, itu sangat menambah level terkejutku.
“Lho, kalau tidak salah kamu yang tadi menabrakku di kabin ya?” tanyanya sambil bangkit. Keringat dingin mulai bercucuran. Itulah hujan lokal. Aku mengangguk dengan gemetar. Agh, dia pasti langsung menghajarku! Aku sudah diam menunggu itu terjadi. Namun, apa yang dia lakukan?
Dia menepuk pundakku “tenanglah sobat,” katanya pelan sambil tertawa-tawa. Aku mengangkat mukaku. Memandangnya dengan dalam. “Yah, ini pertama kalinya ada yang meminta maaf denganku. Kupikir, kamu akan lari seperti yang lainnya.”
Aku menatap matanya. Mukanya begitu memang. Namun, dari matanya, langsung terbaca. Ternyata dia punya aura yang lembut. “Kau… ternyata baik ya,” kataku takjub. Dia tersenyum. “Hei ayo kenalan,” katanya sambil mengulurkan tangannya “Aku Duchfare Dunkstein! Panggil saja aku Duke jika kepanjangan!”
Aku tersenyum bersinar. Ini juga pertama kalinya ada yang mau berkenalan denganku selain Nay. “Foster Alvaero,” balasku sambil membalas tangannya “Foster saja jika kependekkan!” kataku lagi garing.
Kami tertawa berdua. Terbahak-bahak walaupun sepertinya dia tahu bahwa itu garing. Untuk
pertama kalinya, aku merasa senang dengan alami.

***

Esoknya, Duke menindihku. Ceritanya sih, biar aku bangun. Walaupun kukira, dia mau membunuhku.
“Uuuuph!!...” jeritku pelan “Awas! Auuh, kamu mau membunuhku ya!?”
Duke tertawa terbahak-bahak “Dasar orang lemah!” Tawanya keras “Hayo, disiplin sedikit! Mari, kita segera menceburkan ke air!!”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Duke langsung menceburkan diri di bak mandi. Jelas terdengar dari air yang muncrat hingga keluar pintu. Aku lalu mengambil kacamataku. Lalu mengambil pakaian Duke untuk di jemur di luar. Saat membuka pintu ke beranda, burung-burung berterbangan. Sinar matahari menyelip masuk. Membuat bagian dalam kamar menjadi cerah. Aku tersenyum pelan melihat gunung besar di depanku masih berselimutkan kabut. Seakan-akan dia masih tidur.
Beberapa menit kemudian, Duke sudah selesai mandi. Langsung menyergap handukku begitu saja. Rambut jarumnya berubah menjadi loyo. Tertawa aku melihatnya. Berikutnya giliranku mandi. Tapi, melihat duke manghabiskan air panasnya, aku hanya diam terpaku…

***

Aku dan Duke berjalan bersama menuju ke papan pengumuman pembagian kelas. Disana, banyak murid berseliweran dan memenuhi depan papan tersebut. Namun, sepertinya, saat Duke mendekati mereka, semuanya menyingkir. Aku dan Duke dengan mudahnya, maju ke tengah.
“Hah? Kenapa ini?” tanyaku pelan. Duke diam saja. Dia lalu memperhatikan papannnya. Lalu berbalik.
“Kita berdua beda kelas. Kamu kelas 2 dan aku 4…” jawabnya pelan sambil menarik tanganku pergi dari situ. Beberapa meter dari situ, dia berhenti.
“Ada apa, Duke?” tanyaku pelan setelah dia melepaskan tanganku “A…apa kamu sering di begitu kan oleh yang lain?”
Duke terdiam “Tidak… Sudahlah, ayo kita masuk kelas…” katanya sambil berlalu, juga sambil menarikku. Aku hanya terdiam sambil mengerutkan kening.

***

Aku masuk kelasku sendiri. Alangkah terkejutnya aku melihat seseorang yang kukenal yang sedang duduk di belakang itu. Dia pakai seragam lagi.
“Nay! Untunglah kamu sekelas denganku!” kataku senang “Sendiri saja?”
Nay mengangguk pelan “Kenapa telat?” tanyanya sambl menggeser tasnya ke pinggir “Biasanya nyubuh?”
Aku menghembuskan nafas “Ada masalah…” jawabku asal “Biasa lah, bagaimana?”
Nay mengerutkan kening “Bagaimana apanya?” tanyanya balik. Aku garuk-garuk kepalaku karena gatal. “Ngomong-ngomong, kamu tipe apa?” tanyanya lagi. Aku makin garuk-garuk kepala.
“Tipe yang kemarin itu?” tanyaku pelan “Enggak tahu, memang sudah di sebarkan ya?”
“Iya lah!” kata Nay keras “Tuh di papan pengumuman juga ada!”
“Sudah jangan keras-keras,” kataku pelan “Lalu, tipemu apa?”
“Technique,” jawabnya pelan.
“Hah, nanti saja aku selidiki lagi deh…” kataku pelan “Eh, itu gurunya masuk.”
Kami langsung ambil posisi acak. Ada seorang guru laki-laki yang rambutnya pirang, dan kelihatannnya baik.
“Selamat pagi!,” teriaknya sambil tersenyum “Saya, akan menjadi wali kelas kalian mulai saat ini, jadi, nama saya adalah Klapper Zaart. Panggil saja Professor Klapper ya. Disini, bapak mengajar Ilmiah! Jadi siapkan penelitianmu untuk ini…”
Kami terdiam sebentar. Lalu, kami kembali menjadi ramai. “Untuk pertama ini, bapak hanya ingin, kalian bergabung, atau membuat sendiri Workshop kalian. Workshop, adalah tempat kalian dapat bersintesis, bersama-sama tim yang kalian buat. Nah, bapak beri waktu hingga minggu depan. Seminggu ini, silakan kalian bersenang-senang di tempat freshmen! Nah sebelum bapak akhiri, akan bapak jelaskan tentang perjalanan kita ini…”
Beberapa jam kemudian… “Jadi, setelah 4 tahun, kalian bisa pergi dari sini, dengan bebas. Oh jangan lupa, tipe kalian haruslah dihafal yah. Nah sekarang akan bapak absen…”

***

“Phew, akhirnya selesai juga…” kataku lega “Hei, Nay, bagaimana…?”
“Workshop? Mau bikin ah, namanya Workshop Netral!” katanya senang “Eh, Fo, mau ikut Workshopku enggak?”
Aku terdiam sambil tersenyum. “Ah aku pikir-pikir dulu deh…” jawabku sambil keluar dari sana. Nay hanya geleng-geleng kepala.
Aku berlari menuju ke papan pengumuman. Saking cepatnya, orang-orang mengira bahwa aku adalah angin. Dan akhirnya, lagi-lagi aku menabrak orang!
“Eh aduh maaf!” kataku gugup sambil memagang hidung dan menunduk. Orang itu menepuk pundakku lagi.
“Foster?” kata suara yang kukenal “Kenapa kamu…?”
Aku mendongak kepalaku. Glek! Duke rupanya! “Ah Duke, maaf lagi…” kataku kaget. Duke garuk-garuk kepala.
“Kamu buru-buru sekali,” katanya santai “Mau kemana?”
“Mau lihat tipeku,” jawabku sambil kembali berjalan.
“Eh tunggu, aku juga mau lihat!” Katanya seraya berlari mengikutiku.
Kami sampai di depan papan yang kini kosong. Hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang di sekitar situ. Kami lalu mendekati papan pengumuman itu.
“Coba, kucari,” kataku pelan “Hmm…”
Saat mencari nama di kelas 4, ada Duke. Lambangnya tangan.
“Oh, aku Strength ya?” katanya tenang “hoo… pertarungan tangan kosong, berkulit besi, dan tak perlu pakai senjata…”
“Kamu kelihatannya senang?” Sindirku. Duke hanya tersenyum lebar.
“Hayo lihat kamu apa?” kata Duke penasaran. Aku lalu berbalik ke papan pengumuman. Mencari namaku. Ah, itu dia!
“Apa? Buku?” kataku “Apa ini?”
“Maksudnya, kamu tipe Wisdom,” jelas Duke “Mereka pintar, hebat menggunakan strategi, dan bukulah senjata mereka.”
“Kamu tahu darimana?” tanyaku. Duke menunjuk keterangan di atas papan pengumuman. Aku tersenyum sempit.
“Satu tipe lagi, ya Tecnique ya…” lanjutnya “Pandai menggunakan segala jenis senjata, gesit, dan sangat mengandalkan skill mereka.”
Aku mengangguk-angguk. Lalu menunjuk Nama Nay “N.Z. Naya, Technique…” gumamku pelan. “Yah, Workshop, kamu tahu Workshop kan?” lanjut Duke kemudian. Aku mengangguk. “Minimal, semua tipe harus ada dalam tiap Workshop.” Lanjutnya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Oh iya, ngomong-ngomong, Duke, kamu sudah punya Workshop?” tanyaku. Duke menggeleng.
“Belum,” jawabnya enteng “Memang kenapa? Toh masih ada seminggu lagi.”
Aku terdiam. Ya, masih ada seminggu lagi. Tenang saja. Tidak buru-buru… Tidak Buru-buru…
“Ah, kalian berdua…” kata suara di belakang kami. Kami menoleh. Dia, orang berambut biru, bermata besar dan biru juga, laki-laki, membawa sarung seperti untuk pedang, dan kecapekan!
“Ada perlu apa?” tanyaku sambil berbalik, bersamaan dengan Duke. Orang itu kemudian berdiri tegak bagai tombak.
“Maaf menganggu,” kata orang itu, “Aku Levin, ada yang ingin aku tanyakan pada kalian!”
Aku dan Duke saling pandang. “Kau kenal dia, Fo?” Tanya Duke sambil melihatku. Aku menggeleng dengan cepat.
“Tak heran kalian tak mengenalku,” kata Levin “Mungkin aku kurang terkenal, tapi aku ini, Levin Valbelumona generasi ke-12.”
Kami terkejut. Levin segera menenangkan kami. “Tolong jangan keras-keras,” katanya pelan “Kalian Foster Alvaero dan Duchfare Dunkstein, Tipe Wisdom dan Strength kan? Makannya aku membutuhkan kalian yang memang sekamar…”
“Hem, lalu ada apa?” Tanya Duke sambil menyilangkan tangannya “Silakan Tanya yang kamu suka.”
“Duke, tenanglah!” kataku sambil mendekati Levin “Jadi apa yang ingin kamu tanyakan pada kami?”
“Sebenarnya,” kata Levin “Kalian… mau bergabung dengan Workshop-ku?”
Kami terdiam. Wah ada yang mengajak kami ikut dengan Workshop seseorang! Apa lagi dia, anak dari Raynaldy Valbelumona generasi ke-11 itu! Tapi, aku sudah menerima ajakan dari Nay untuk bergabung dengan Workshop-nya. Bagaimana ini?
“Baiklah, aku ikut denganmu,” jawab Duke santai. Aku terkejut. “Yah lebih baik begini daripada harus memaksa ikut dalam Workshop lain yang tak terlalu membutuhkan kita kan?”
Aku terdiam lagi. Waduh bagaimana ini? Haruskah aku mengikuti Levin, atau Nay? Wahai saudara yang kebingungan, pilih jalanmu… Agghh kata-kata itu garing sekali!
“Terima kasih banyak, Duchfare!” kata Levin senang.
“Duke, tepatnya,” kata Duke sambil mengangkat badannya “Panggil Duke, sekarang ini, ya?”
Levin mengangguk sambil tersenyum senang. Kemudian mereka memandangku yang sedang berputar-putar karena pusing.
“Bagaimana denganmu Foster?” kata Levin “Foster kan?”
Aaah… Bagaimana ini? Mana yang harus aku pilih? Ya Allah! Tolonglah akuuu!!
“Foster kau baik-baik saja?” Tanya Duke sambil menyernyitkan dahinya.
Levin tertunduk “Oh, sudah punya ya…?” kata Levin “Sudahlah, tak usah di paksakan, akan kucari yang lain saja…”
Aku langsung membatu. Untungnya tidak roboh. Dengan sekejap, langsung aku berbalik.
“Baik, baik!” kataku lantang “Aku ikut denganmu! Makasih sudah mengajakku!”
Semua terdiam. Hei, aku berkata terlalu kencang ya?
“Makasih sudah mau bergabung denganku Foster!” Kata Levin sambil memelukku erat-erat. Aku tersenyum tidak karuan.
“Tapi, apa perlu sekencang itu?” kata Duke sambil menyernyitkan dahinya.
“Baiklah, aku akan mengantar kalian ke Workshop-ku!” katanya bersemangat “Yuk, mari.”
Duke mengikutinya dengan santai. Sementara, aku berjalan dengan langkah super ringan seperti burung sambil terhenyak dalam-dalam. Apa yang harus kukatakan pada Nay nanti?

***

Levin mengantar kami terus hingga ke gedung Workshop. Kami melewati Workshop lain. Workshop milik Curbale, lalu… Workshop Nay?
“Ya, selain Workshop privat milik para guru, ada 8 buah Workshop lain yang di buat tanpa binaan mereka. Yaitu, di sini,” jelas Levin “Di lantai satu, ada Workshop milik kak Mike Curbale, lalu Workshop baru bernama Netral ini, dan ruangan di ujung sebelah sana, ruang Athanor.”
Aku dan Duke saling pandang “Athanor? Apa itu?” tanyaku.
“Itu untuk membuat semacam senjata, aksesoris, dan lain-lain...” jelasnya kemudian.
“Senjata apapun juga?!” Tanya Duke bersinar-sinar.
“Tenang Duke,” kataku pelan.
“Memang bisa,” kata Levin “Tapi, kita harus punya buku panduan membuatnya. Kita bisa membelinya di toko sekolah, atau meminjamnya dari perpustakaan.”
“Ooooh…” kataku dan Duke bersamaan.
“Mari, kita ke atas,” lanjut Levin sambil menaiki tangga. Duke mengikutinya. Tapi, aku terpaku memandang Workshop Netral itu…
“Foster! Ayo cepat, nanti ditinggal lho?” panggil Duke dari atas. Aku langsung sadar dari ketidak sadaranku.
“Ah, ya! Aku segera dating!” Balasku cepat sambil menaiki tangga. Tiba-tiba, pintu Workshop Netral terbuka.
“Wah berisik sekali ya,” kata Nay dari dalam Workshop itu “Tapi, suara itu… Foster?”

***

Levin mengajak kami ke pinggir sambil komat-kamit menjelaskan.
“Sebelah kiri adalah Workshop milik kak Bartheno Evestony, dibentuknya tahun kemarin,” jelas Levin. Lalu, dia menunjuk ke kanan “Sebelah kanan adalah Workshop milik kak Elle Vienna. Sebelah sananya lagi, adalah Workshop milik kita.”
Lalu, kami berjalan ke kanan. “Lalu, di lantai tiga ada apa?” Tanya Duke sambil menunjuk ke atas.
“Ke atas, ada 3 Workshop lagi. Workshop ke kiri adalah Workshop milik Kivara, lalu sebelah kananya berturut-turut Workshop Kak Mandaly, dan Workshop kak Sherry” jelasnya dengan cepat “Di atasnya lagi, adalah atap. Kita bisa bersantai di sana lho.”
“Wah kamu hapal sekali ya,” kataku pelan “Padahal, kita kan sama-sama baru pertama kalinya kesini?”
“Ya! Kupikir kamu cocok menjadi seorang pemandu wisata,” kata Duke semangat.
“Aku sudah hapal, soalnya, ayahku sering mengirimkan surat tentang ini semua sewaktu aku masih kecil,” jawab Levin malu.
“Jangan-jangan ayahmu…” kataku pelan “Pak Rendo Valbelumona XI?” Levin mengangguk “Tepat sekali! Wah, kamu tahu ayahku ya?” kata Levin senang. Duke menyernyitkan dahi.
“Oh, Alchemist profesional itu…” Kata Duke “Si terkenal itu ya? Hmm…”
“Ehm, ya,” jawabku gugup “Aku pernah mendengarnya…”
“Kalau begitu, kita pergi ke Workshop milik ayahku?” ajak Levin sambil berjalan.
“Mungkin maksudmu, ‘mantan’ Workshop ayahmu,” canda Duke garing.
Kami tertawa pelan. Tapi, aku berpikir lagi. “ Jadi ternyata…” pikirku “Dia adalah anak dari alchemist yang telah membuat…”
Kami lalu memasuki Workshop tersebut.

***

Workshop milik Levin, ternyata cukup berantakan. Gorden tertutup rapat, sehingga tempat ini cukup gelap. Cairan aneh terlantar dimana-mana. Peralatan-peralatan setengah utuh. Bau menusuk beredar dimana-mana. Benarkah ini Workshop milik ayah Levin?
“Wueeek!!” teriak Duke sambil berbalik “Kok, sepertinya tak terurus begini?”
“Yah, soalnya, sudah dua tahun Workshop ini tak pernah di gunakan lagi,” kata Levin “Terakhir kali, Workshop ini bangkrut karena tak ada anggota yang mau mengikuti Workshop ini lagi karena kurang bagus bagi mereka.”
“Oh begitu…” katakue pelan “Eh, kalau begitu, anggota Workshop ini… hanya kita bertiga??”
Levin mengangguk. “Akh, sudah ah!” kata Duke nafsu “Ayo kita bereskan tempat ini dulu!”
Kami mengangguk. Tapi, kami ternyata kurang profesional soal membersihkan.
“Aaaah, dasar daging segar!” kata Duke marah “Ok, akan kujelaskan cara membersihkan yang benar! Pertama, bersihkan sesuatu dari atas dulu! Seperti atas rak dan lantai atas!”
“Me, mengerti,” kataku dan Levin bersamaan.
“Kedua, jangan terlalu banyak menggunakan air ketika mengelap sesuatu!” kata Duke keras.
“Ba, baik!” seru Levin. Aku menyernyitkan dahi.
“Hah? Rasanya cara ini pernah kudengar dimana gitu…” gumamku pelan.
“Hey, sedang apa kau!?” benak Duke padaku “Ayo, teknik terakhir, bersihkan sisanya dengan benar! Jangan sisakan kotoran sedikitpun!!”
Aku terkejut. “O, oke!” kataku dan Levin bersamaan sambil berusaha membersihkan seperti yang Duke suruh.
“Jangan-jangan ini berasal dari…?” dugaku pelan.
“………”
“………”
“………”
“………”
“………!”
Cling-cling, ruangan ini bersinar seperti gelas sekarang.
“Whew, kupikir kalau hanya bertiga, mustahil melakukannya…” kata Levin pelan.
“Kalau kuperhatikan, tempat ini bagus juga ya?” kataku sambil celingak-celinguk kesana-kemari.
“Makannya, percayalah padaku,” kata Duke senang “Sekarang, ayo kita harus mengatur letaknya ulang. Aku akan mengambil peralatan labnya dulu di gudang ruang guru, jadi tunggu sebentar ya.”
Lalu kemudian, Duke berlalu pergi. Kemudian, aku mendekati Levin.
“Levin, kita ke atas sebentar yuk,” ajakku “Kalau tadi aku lihat, ada TV kan?”
Levin terkejut “Wah benarkah?” kata Levin senang “Wah aku tak menyangka ayahku suka nonton TV!”
“Kau berlebihan…” kataku pelan.
Kami lalu menaiki tangga ke atas. Kami lalu duduk-duduk di atas.
“Levin, ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” kataku sambil menoleh padanya. Levin menoleh.
“Soal apa?” tanyanya.
“Pertama-tama, aku ingin tanya sedikit tentang Peraturan Workshop…” kataku pelan “Bukannya satu Workshop syaratnya minimal punya 4 orang kan?”
“Oh soal itu,” kata Levin “Wah, kau benar-benar tipe Wisdom! Benar, minimal 4 orang tiap Workshop. Tapi, kakek memberiku kesempatan agar setidaknya mengumpulkan 3 saja!”
Aku terbelalak. “Lho? Memangnya kakekmu siapa?” tanyaku kaget.
“Wah memang aku tertutup sih ya…” kata Levin sambil tersenyum “Kakekku itu, ya kepala sekolah akademi ini!”
Hampir saja otakku meloncat keluar dari kepalaku. Mataku berputar beberapa kali. Overlap kelopak mata hampir 10 kali. “Benarkah!?” seruku kaget “Wah, keluargamu edan sekali…”
“Hahaha…” Levin tersenyum senang “Begitulah keluargaku.”
Aku terdiam sebentar. Berarti aku mesti hati-hati nih, sama anak ini!
“Tapi, jangan khawatir, Fo,” kata Levin lagi “Aku bukanlah anak yang merengek-rengek jika di jahili, jadi tenang sajalah.”
“Oh begitu,” kataku pelan “Lalu, kamu mau menceritakan ini pada Duke?”
Levin menghela nafas “Yaa tentu saja,” katanya sambil membalik “Kalian kan teman pertamaku lho…” lanjutnya sambil turun ke bawah karena Duke membuka pintu.
“Levin…?” panggilku pelan. Levin terus ke bawah menyambut Duke. Aku terdiam lagi. Teman pertama? Maksudmu, kamu tak pernah punya teman sebelumnya? Masa sih…”

***

Setelah beberapa jam setelah itu, kami telah mendekor ulang Workshop ini hingga tampak lebih indah di bandingkan sebelumnya.
“Wah, ini hebat Duke!” kata Levin kagum “Terima kasih banyak dengan bantuanmu!”
“Yah, lengkap dengan Panci ini dan juga tongkat pengaduknya,” kataku pelan sambil mengacungkan tongkat pengaduk besar. Lalu aku menoleh ke sampingnya “Ada komputer lagi!”
“Haho, itu adalah properti sekolah yang kutemukan di bak sampah!” kata Duke senang “Peralatan-peralatan ini untungnya utuh semua!”
Aku dan Levin memperhatikan peralatan lab itu “Duke, yakin kamu bukan mengambilnya dari Lab?” Tanya Levin bingung.
“Tau, seseorang memberinya padaku di belokan sana,” kata Duke “Nah, tugas kalian tinggal mencari buku-buku untuk membuat sesuatu kan?”
“Yep,” kata Levin senang “Eh tunggu, ada yang datang,” lanjutnya sambil membuka pintu. Ah, bu wakil kepala…
“Maaf mengganggu…” kata Bu Betty “Ah, kulihat kalian sudah ada tiga orang?”
“Ya, bu,” kata Levin senang lagi “Seperti kata kakek!”
“Kakek? Ah, aku mengerti…” kata bu Betty pelan “Hmm, karena kalian membuat Workshop baru, kalian memberi nama apa?”
Aku dan Duke saling pandang sambil tersenyum. “Workshop Valbelumona, bu!” teriak Duke sambil tersenyum lebar. Levin terkejut.
“Oh, baik,” kata bu Betty “Karena kalian membuat Workshop baru, kami selalu memberinya tes. Kalau berhasil, kalian akan diakui sebagai salah satu Workshop disini.”
Kami langsung lesu. “Ayolah anak muda!” kata bu Betty kesal “Ibu hanya meminta di buatkan sesuatu, hasil dari Workshop kalian ini! Tidak terlalu sulit kan?”
Kami mengangkat kepala kami. “Kami harus membuat apa, bu?” tanyaku pelan sambil mendekati Levin.
“Tunggu sebentar,” katanya sambil berusaha mengambil sesuatu dari balik mantelnya. Lalu, dia mengeluarkan suatu buku dari baliknya, dan memberikannya pada Levin “Nah, buatlah benda yang tertulis dalam buku ini. Kami akan memberi kalian kesempatan selama seminggu. Semoga berhasil. Permisi…” lanjutnya sambil berlalu. Kami mendekati Levin.
“Oooh! Resep baru!” teriakku senang “Aku akan coba membuatnya ah!”
“Kira-kira apa ya, yang bisa kita buat dengan ini?” Tanya Duke penasaran “Wah pakai bahasa inggris lagi…”
“Hmm, kita coba lihat dalamnya ya,” kata Levin sambil membawanya ke meja dekat panci.
“Hei Levin, aku bisa bahasa inggris kok,” kataku “Kesinikan.”
Aku lalu mengambil bukunya dari Levin dengan cepat. Lalu membacanya.
“Cara membuat Basic Potion yang mudah,” kataku “Hmm? Basic Potion?”
“Jelas mudah?” kata Duke santai.
“Masa? Kalau begitu kenapa kita di kasih waktu selama seminggu?” Tanya Levin bingung.
“Coba kita lihat,” kataku sambil membaca cepat “Peralatan yang dibutuhkan, pisau duri, 2 buah Tabung reaksi, dan sebuah pengaduk.”
“Hanya begitu?” Tanya Levin sambil mengambil barang yang di sebutkan tadi.
“Ehm, belum selesai,” kataku “Bahan-bahannya adalah Fiber Root, Normal Mushroom, dan Herb.”
“Apa itu?” sungut Duke murung “kita harus mencarinya dimana?”
“Mene-ketehe,” kataku sambil membaca lanjutannya “Oh, disini juga ada bahan alternatif lainnya.”
“Oh, apa itu?” kata Levin penasaran.
Aku diam sebentar sambil menyernyitkan dahi “Yang sebelah sini makin nggak jelas…” kataku pelan “Baiknya, kita pakai bahan ini sajalah…”
Kami semua menghela nafas bersama. “Nah kita harus mencarinya dimana?” Tanya Duke pelan. Tiba-tiba Levin teringat sesuatu. “Ah iya!” katanya semangat “Kalau tidak salah, ayah pernah bilang, tentang buku panduan bahan-bahan itu!”
Kami memandang Levin. “Ayahmu menulis yang begituan juga?” kataku kaget.
“Dasar terkenal…” kata Duke takjub.
Levin lalu segera memeriksa rak buku dengan cermat. Satu-persatu dia melihatnya dengan rinci. Tidak sampai satu menit dia mencari, bukunya sudah ada di tangannya.
“Ini dia!” kata Levin sambil meletakkan buku yang diselimuti oleh debu yang langsung beterbangan itu “Coba kita buka…”
Levin membukanya dengan hati-hati. Bukunya sudah kusam, banyak lembaran yang sudah lepas. Dan sepertinya, di sentuh sedikit, langsung berubah jadi debu. Begitu dibuka, debu-debu langsung terbang bebas ke angkasa. Dan memberi kenangan bersin pada kami.
“Hiee!” Teriak Duke kaget “Letakkannnya pelan-pelan saja dong!”
“Iya, maaf,” katanya sambil kembali membukanya. Isinya sebagian besar adalah catatan-catatan yang kurang penting bagi kami. Bagian pengetahuannya ada di bagian belakang.
“Eeeh, ini dia,” kata Levin sambil menunjuk lembaran itu. Kembali debunya beterbangan “Sepertinya kita harus berkeliling ke hutan-hutan ya?”
Kami menghela nafas bersama. “Ternyata tidak mudah…” keluh Duke.
“Yang bilang mudah kan hanya kamu!” kataku sebal “Lalu, ada catatan tentang habitatnya tidak?”
Levin mencari ke sana-sini. Menggelindingkan bola matanya ke atas kebawah, kekiri dan ke kanan. Lalu main serong.
“Nah ini,” kata Levin “Herb biasanya di temukan di bawah tanah. Butuh alat untuk mencarinya. Bisa ditemukan di kubah Bio. Kemudian Fiber Root, akar serabut. Sangat mudah di temukan. Kebanyakan terdapat di Hutan timur. Terakhir, Normal Mushroom ada di lapangan Everee, tempat kita biasa olahraga…”
“Hem, detail juga…” kataku “Hebat, boleh aku menjiplaknya?”
Levin menutup bukunya perlahan. “Boleh, hati-hati sobek ya?” kata Levin sambil menyerahkan bukunya perlahan-lahan. Aku meloncat kegirangan.
“Hmm, sudah sore nih,” kata Duke sambil melihat jamnya “Foster! Kita harus beres-beres kamar kita untuk besok lho?”
Aku langsung mundur dua langkah sambil menepuk dahi “Oh benar! Aku lupa!” seruku.
“Oh kalian ada urusan ya?” Tanya Levin “Kalau begitu kalian pergi saja, sisanya biar kuurus deh!”
Kami memandang Levin. “Benarkah tak apa?” tanyaku khawatir.
“Sudahlah,” kata Duke sambil menarikku “Percayalah sedikit pada teman. Nanti kamu tak punya teman lho?”
“Oh, ya sudah,” kataku sambil berjalan keluar “Kalau ada sesuatu, bilang saja ok?”
Levin mengangguk. Kami lalu berlalu keluar dari sana. Otomatis lampu disana menyala. Levin berdiri sendirian. Lalat-lalat mulai menyerobot masuk, mengelilingi Levin. Levin terdiam.
“Be, benarkah…” gumamnya pelan “Mereka… Apakah benar…?”
Levin berjalan ke jendela. Menatap matahari yang mulai terbenam. Dia terdiam sejenak sambil bergumam lagi.
“Ayah…” katanya pelan “Aku… akhirnya sudah dapat…”
Beberapa menit Levin memandang ke luar jendela. Lampu-lampu di sekitar akademi mulai dinyalakan. Siswa-siswa mulai menghilang. Bayangan kian memanjang. Hingga menyelimuti seluruh pulau. Levin tetap terdiam. Memandangi bulan yang muncul perlahan. Dia tersenyum. Air mata kebahagian kemudian turun melalui pipinya dengan kecepatan seekor siput. Bayangan kini menyelimutinya.

***

Hari itu, Kelas berakhir dengan biasanya. Kecuali, tentang Nay.
“Hey Foster,” kata Nay sambil mendekat padaku. Pusingku mulai mengunjugiku lagi.
“Ada apa?” tanyaku pelan.
“Soal Workshop kemarin, bagaimana?” Tanya Nay “Mau ikutan dengan Workshopku? Kemarin aku sudah membuat Workshop baru!”
“Be… begitu?” kataku gugup “Eee… Maksudku, bagus!”
“Hem, ya,” gumamnya “Walaupun, sepertinya Workshop baru memang harus dites ya.”
Aku melirikkan mataku padanya “Disuruh ngapain?” tanyaku.
“Buat barang,” katanya “Jadi tawaranku diterima enggak?”
Aku bimbang. Cemas, takut, dan rasa bersalah teraduk menjadi satu. Semuanya berdansa dengan sangat indah di kepalaku. Nay memandangku sebentar.
Nay mengangkat alisnya “Jangan-jangan, kamu sudah punya Workshop ya?” tanyanya langsung menembus badanku.
“Eh…” kataku pelan “Maaf, Nay…”
Nay diam saja. Dia lalu berbalik pergi. Entahlah seperti apa wajahnya saat itu.
“Apa aku salah ya?” pikirku pelan. Saat aku melihat ke depan, Levin melambaikan tangannya dari balik pintu. Aku langsung mendekatinya.
“Ada apa, Levin?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Soal tes penerimaan itu lho,” kata Levin “Bagaimana cara kita mencari bahannya? Alatnya saja tak ada…”
Aku terdiam “Hem, benar juga sih…” kataku pelan “Bagaimana kalau kita pergi ke guru Naturologi? Kalau tak salah, namanya bu Milda. Benar?”
“Bu Milda?” kata Levin pelan “Aku ragu dia bakal memberikan jawabannya…”
“Hah? Kenapa tidak?” tanyaku heran.
“Yah, jangan yah,” kata Levin sambil geleng-geleng “Yang lain?”
Aku terdiam lagi. Kali ini berpikir “Mungkin ke pak Klapper, guru Ilmiah dan Persintetisan sekaligus, wali kelasku, bisa membantu!” kataku dengan penekanan di kata ‘wali kelas’.
Levin tersenyum manis “Bisa dicoba,” katanya senang. Kami lalu menyusuri lorong menuju ruang fakultas.
Di depan ruang pak Klapper, kami mengetuk pintunya. Pak Klapper menyuruh kami masuk beberapa saat setelah itu.
“Oh ada apa, Alvaero?” Tanya pak Klapper sambil tersenyum “Oh, dan satu lagi, Valbe.”
Kami mengangguk dulu sebentar. “Maaf, pak Klapper, ada yang ingin kami tanyakan…” kataku pelan.
“Oh? Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?” Tanya pak Klapper.
“Begini, kami membuat Workshop baru, jadi ada tes untuk penerimaan itu,” jelasku pelan.
“Kami disuruh membuat sebuah benda,” lanjut Levin “Tapi, kami tak punya alat untuk mencari sesuatu.”
“Oh, jadi kalian ingin bertanya, bagaimana cara kalian mencari bahan-bahannya sendiri ya?” kata pak Klapper. Kami mengangguk pelan.
“Ah, kalian adalah kelompok kedua yang datang kesini,” katanya pelan “Kalau begitu, bapak akan berikan beberapa bahan saja.”
Kami bersorak. “Apa itu pak?” tanyaku penasaran. Pak Klapper berbalik. Menuju ke lemari yang berantakan. Beberapa saat kemudian pak Klapper memberi kami sebuah jamur dan sebuah sekop.
“Hah?” kataku pelan “Darimana bapak tahu kami akan membuat sebuah Potion?”
Pak Klapper tersenyum “Tentu bapak tahu!” katanya “Soalnya, sewaktu bapak masih disini, bapak juga membuat Workshop sendiri. Bersama dengan Rendo!”
Kami terkejut. “Ayah!?” seru Levin kaget “Bapak berbagi Workshop dengan… ayah?”
“Benar!” serunya “Kamu kan adalah anaknya. Tentu saja dia mewariskan Workshopnya kepadamu.”
“Oh, jadi karena itu, bapak tahu banyak,” kataku pelan.
“Ya, sekarang, cepatlah, buat kembali Workshop kalian dengan maju!” kata Pak Klapper senang.
Kami lalu berjalan keluar “Terima kasih, pak Klapper!” kata kami bersamaan “Permisi!”
Pintu pun tertutup rapat. Kami langsung berlari menuju ke Workshop kami. Pak Klapper tersenyum melihat kami.
“Dia benar-benar anakmu ya…” katanya “Sherry…”

***

Duke sudah berdiri dengan menyilangkan tangannya dengan muka membara.
“Kalian terlambat 14 menit!” seru Duke marah “Kemana saja kalian?”
“Kami baru saja mencari cara untuk mencari bahan-bahannya dengan alat!” balasku “Kamu sendiri, masa berdiri begini sejak tadi?”
“Oh? Baguslah kalau begitu!” kata Duke senang “Ya sudah, ayo kita ke hutan timur sambil membawa sekop itu!” lanjutnya sambil menarik kami keluar.
“He, hei tunggu!” kataku keras “Simpan jamur ini dulu!”

***

Kami berjalan terus menuju ke hutan selatan. Untungnya hari tak terlalu gelap. Kami mulai menyusuri hutan itu.
“Nah, lalu?” kataku pelan “Cari bagaimana?”
“Kamu kan bawa sekop?” Tanya Duke “Menurut guruku, carilah tempat yang ada simbol lobak. Disitulah kita dapat menggali sayuran dengan sekop.”
“Begitu?” kata Levin pelan “Guruku belum ngomong apa-apa sih.”
“Nah, lalu kira-kira,” kataku “Dimana adanya simbol itu ya?”
“Sudah, berpencar saja…” kata Levin “Eh, tunggu, disana itu… apa ya?”
Kami menoleh ke tempat Levin menunjukkan telunjuknya. Gambar lobak tergambar di sebuah papan. Dan dibawahnya, tanah gembur yang siap di gali!
“Oh bagus!” kataku pelan “Ini sih, terlalu mudah…”
“Peduli amat deh,” kata Duke sambil mengambil sekopnya dari tangan Levin. Langsung berlari kesana.
Beberapa jam kemudian, kami lelah karena selama kami menggali, rupanya tak ada satu pun sesuatu yang keluar.
“Wah salah aku tidak menanyakan soal cara mencarinya,” kataku sambil mengelap keringatku “Bagaimana ini?”
“Te, teruskan?” kata Levin pelan “Istirahat dulu plis…”
“Hey berhentilah bertingkah seperti anak kecil!” seru Duke sambil berdiri “Ayo! Gali lagi! Lagi!”
“Ayolah Duke, capeklah sedikit…” kataku pelan.
“Mana bisa capek dipaksa!” seru Levin kaget. Tiba-tiba, terdengar suara dari semak-semak.
“Hei, ada seseorang disitu?” Tanya Duke keras. Tiba-tiba bunyi itu terhenti.
Aku dan Levin saling pandang. Semoga yang muncul itu bukan hantu!
Tapi, yang muncul adalah sosok perempuan! Rambutnya panjang acak-acakan, dan lagi, berwarna biru!
“Gyaaaaaaaaa!!” teriak aku dan Levin bersamaan. Berusaha pergi dari tempat itu. Namun, Duke menarik kami.
“Oi, tunggu, penakut!” serunya “Perhatikan dulu dengan cermat! Barulah lari!”
Kami berhenti panik. Kami menoleh padanya. Tunggu… dia kan manusia!
“Maaf, sepertinya aku mengagetkan kalian ya?” Tanya perempuan itu sambil menggaruk kepalanya. Cantik sekali!!
“Kau… Siapa?” tanyaku setelah kami menyadari bahwa dia manusia. Asli.
“Aku Stella Cyrus Tamara,” jawabnya sambil keluar dari semak-semak “Aku masih kelas satu kok…”
“Ho, kalau begitu sama dengan kami!” kata Duke senang “Levin?”
Levin terkejut “Kenapa aku?” tanyanya “Ada ap…”
“Ajak dia menjadi anggota Workshop kita!” bisik Duke pelan “Ayo! Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali!”
Aku tersenyum garing sambil mengerutkan kening. Dia lalu berjalan ke arah kami.
“Kalian sepertinya sedang kesulitan ya?” tanyanya mulus “Ada yang bisa kubantu?”
Aku mendekatinya “Ah, anu, Stella…” kataku malu.
“Oh bukan, bukan,” katanya sambil menghentikanku “Panggil aku Cyrus saja. Stella itu… rasanya aneh…”
“Oh, baik, Cyrus,” lanjutku kemudian “Sebenarnya, kami kesulitan… em cara mencari lahan lobak dimana ya?”
Levin dan Duke langsung cekikikan sendiri. Aku mengerutkan kening. Salah ya? Pikirku.
Cyrus tersenyum “Tak heran kalian salah,” katanya “Seharusnya sebelah sana lho…” lanjutnya sambil menunjuk ke lahan kosong di sebelahnya. “Sebenarnya yang ini juga merupakan lahan juga. Cuma, sejak kemarin, lahan ini sudah kosong.”
Kami terpaku selama beberapa detik. Kami kemudian dengan sendirinya berjalan menuju lahan itu dengan menunduk. Tiba-tiba, Cyrus memanggil kami.
“Eh anu…” panggilnya pelan. Kami menoleh.
“Ada apa?” Tanya Levin sambil berbalik.
“Be, begini,” kata Cyrus gugup “Sebenarnya… Apa kalian sudah mempunyai… Workshop?”
Eaaaa!! Teriakku dalam hati. Tanpa di ajak, mangsa pun dating sendiri. Padahal, tadinya kami mau memaksa dia ikut dengan kami. Atau, jangan-jangan dia menawari kami agar masuk ke Workshop miliknya?
“Sudah,” kata Levin tegas “Maaf, kami tak bisa ikut Workshop milikmu…”
“Oh begitu…” katanya pelan “Wah maaf sudah mengajak kalian yang tidak-tidak.” Katanya lagi. Kali ini, dia langsung menghilang memasuki hutan. Kami bergidik.
“Sebenarnya, dia siapa sih?” tanyaku heran. Yang lain menggeleng.
Kami lalu menggali dengan bersemangat hingga jarum panjang mengingatkan kami bahwa jam sudah menunjukkan pukul 6 sore dan untungnya, kami sudah menemukan semua bahan yang kami butuhkan!
“Phew, akhirnya selesai,” kataku sambil berjalan menuju ke asrama laki-laki.
“Ya, aku belum shalat deh…” kata Duke pelan.
“Kita bisa melakukannya bersama-sama,” kata Levin “Sekarang, kita harus meletakkan barang-barang ini dulu ke Workshop.”
Kami lalu segera berlari menuju Workshop. Tanpa sadar, seseorang mengintai kami sejak tadi. Sejak saat itulah, kami mulai dimata-matai oleh Seseorang!

***

Satu minggu sudah berlalu. Hari ini adalah hari pengecekan. Subuh-subuh, kami bertiga sudah berdiri di depan panci alkemi. Bahan-bahan sudah tersedia di meja. Aku membacakan cara membuatnya.
“Ok, setelah menjadi lembek, potong menjadi 10 bagian. Biarkan hingga mendingin, lalu…” perintahku sambil membaca bukunya dengan cermat. Levin dan Duke bekerja dengan sekerasnya.
“Phew, apa segini cukup?” Tanya Levin sambil mengeluarkan cairan yang diperas dari Fiber Root.
“Oh, kasih saja sedikit air agar dinginnya lebih,” kataku “Duke, coba berikan bumbu Herbnya ke atas jamurnya. Sedikit-sedikit ya.”
Duke mengacungkan jempolnya. Lalu kemudian mengambil serbuknya dari atas meja. Kami mengerjakannya dengan cepat. Karena, 5 menit lagi, bu Betty pasti dating.
Kami lalu memasukkan semuanya ke dalam panci. Lalu kami semua berdiri di depannya.
“Nah, sekarang tinggal tunggu sekitar2 menit hingga cairannyacukup kental agar dapat diambil, lalu di masukkan kedalam botol,” kataku.
“Wah untung ada kamu ya,” kata Levin senang “Kalau tak ada, aku tak tahu bagaimana masa depan Workshop ini.”
“Bahkan aku sendiri pun tak bisa melakukan ini,” kata Duke “Wah staminaku hampir habis nih.”
“Ah sudah kuduga bakal begini,” kataku sambil berbalik ke meja peralatan “Oh iya, tadi aku sempat membuat ini.”
“Apa itu?” Tanya Duke. Aku lalu memberikan kedua tabung reaksi berisi cairan hasil percobaanku kemarin. Tanpa ada guide book!”
“Pembangkit stamina! Cobalah ok?” kataku sambil tersenyum. Tiba-tiba saja, pintu diketuk. Aku menghampirinya. Sementara, Duke dan Levin merasa bakal ada sesuatu yang buruk bakal terjadi. Mereka pun meminum cairan itu.
“Oh, bu Betty!” kataku “Tepat sekali!”
“Selamat siang,” katanya “Jadi, bagaimana dengan tes yang ibu berikan?”
“Oh, sudah jadi,” kataku “Silakan masuk… lho?”
Aku kaget melihat Duke dan Levin yang pingsan. “Ah mungkin mereka kelelahan, sini, biar saya saja yang memperlihatkannya.”
Aku lalu membawa bu Betty ke depan panci. Aku lalu membawa sebuah botol, lalu mengambil air dalam panci itu, lalu kemudian menyerahkannya pada bu Betty. Bu Betty langsung meminumnya. Aku memainkan jariku dengan cepat. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Apakah enak tidak ya?”
“Hmm?” katanya pelan “Ah, lumayan… baiklah, Workshop ini diterima!”
Aku langsung bersorak bahagia. Duke dan Levin langsung terbangun dari pingsannya.
“Eeekh? Berhasil?” kata Levin tak percaya “Yaaay!!”
“Bagus kawan-kawan!” kata Duke senang “Kita dapat menggunakan ini sepuasnya!”
“Oh baiklah kalau begitu,” kata bu Betty sambil melangkah keluar “Aku akan melapor pada pak kepala soal ini. Silakan nikmati Workshop ini. Jagalah kebersihannya. Selamat tinggal.” Lanjutnya sambil keluar dari sana.
Kami lalu bersorak lagi.

***

Di luar, sebelum turun tangga, bu Betty bertemu dengan seseorang.
“Nah bagaimana?” kata bu Betty “Sudah kubilang, itu cukup mudah untuk mereka…”
“Tak apa,” kata orang itu “Aku memang berharap agar Workshop itu berhasil lulus.”
“Ya aku mengerti,” kata bu Betty “Karena itu kan, kamu merekomendasikan agar ibu memberi mereka tugas dengan membuat benda termudah. Benar?”
“Ibu berlebihan!” kata orang itu “Saya hanya melakukan, yang mestinya dulu kulakukan…”

***

Di dalam Workshop, kami berpesta. Menggulingkan segala macam benda. Untungnya, Levin cukup cekatan untuk menangkap mereka semua.
“Oh iya, ngomong-ngomong,” kataku pelan “Aku buat obat baru loh! Mau mencobanya?”
Duke dan Levin langsung membatu. “Oh lihat!” kata Levin sambil melihat jamnya “Sudah siang! Aku harus segera menemui kakek untuk laporan siang! Jadi permisi!” katanya sambil pergi dari situ.
“Oh yeah! Aku juga!” kata Duke sambil melesat pergi “Aku ada janji untuk ke pantai Sunset bersama teman sekelasku. Jadi Dadah!” lanjutnya sambil membanting pintu dengan keras. Aku hanya menyernyitkan alisku.
“Kenapa mereka?” kataku pelan. Lalu kemudian, aku mencoba membuat sesuatu lagi.
Sementara itu, Levin dan Duke berjalan sebentar keluar.
“padahal, Foster itu kan orangnya baik,” kata Levin.
“Kenapa, buatannya rasanya busuk begitu ya…?” lanjut Duke sambil muntah-muntah.
Setelah itu, kami sekarang menggunakan Workshop itu hingga kami lulus. Walaupun, sepertinya, tes di Workshop kami lebih mudah di bandingkan tes di Workshop lainnya. Tapi, kini, kami sudah mempunyai Workshop sendiri. Duke, Levin, dan aku. Kuharap, kami bisa tetap bersama selamanya…

***
To Be Continued…

Teman se-Blog