Burung-burung menyanyi dengan riang, awan-awan berkejaran dengan pelan di atas sana, sendari tadi, cuaca cerah membuka jubahnya dengan sangat lebar. Sehingga, hari pun cerah sentosa. Begitu juga dengan hatiku saat ini. Cerah bagai sinar matahari yang memandikanku hari ini.
“Hey Nay,” kataku sambil berbalik, menengok pada teman baikku, walau dia perempuan, “Indah kan? Ah… Seandainya Kevyn juga ikut.”
Nay diam sambil melihatku “Bukan begitu, Foster…” katanya dengan nada pelan “Masalahnya, dia langsung memilih kerja, dibandingkan masuk kuliah…”
“Yah, aku harap sih, kita bisa bertiga ya…” kataku sambil mendengus pelan. Angin mulai mendesir di depan wajahku.
Saat ini, kami sedang menuju ke pulau terpencil, khusus tempat kuliah Alkimia, tempat kami akan bersekolah. Pulau ini dinamai pulau Gebrida. Kampusnya bernama Akademi Seinwalk, ber-motto-kan “Nós Podemos Fazer Melhor!” yang artinya, Kita bisa lebih baik! Sebagian besar, daerah ini di dominasi oleh hutan, dan berlatarkan pegunungan di belakangnya. Tapi, pulau ini entah mengapa mempunyai misteri, yaitu, daerah kering di belakang pegunungan tersebut. Tak pernah ada seorang pun yang pernah di ijinkan untuk pergi kesana.
“Halo semuanya!” kata speaker yang berbunyi di belakanga kami. Aku langsung meloncat saking kagetnya.
“Lebay deh,” sahut Nay sambil memandangku. Aku hanya tersenyum pelan.
“Sebentar lagi, kita akan segera sampai di pulau Gebrida,” kata suara itu lagi “Siapkanlah, barang-barang anda, jangan sampai ada yang ketinggalan! Sampai jumpa 3 tahun ke depan!” Aku dan Nay langsung bergegas menuju ke kabin kami untuk membawa barang-barang kami. Setelah berpisah menuju ke kabin kami, aku, yang sedang berlari kecil, menubruk seseorang dengan keras. Namun, aku saja yang terpental.
“Ah! Maaf!” kataku sambil menunduk-nunduk. Lalu kemudian, berlari secepat kilat menuju ke kabinku. Orang yang berbadan besar tadi hanya memandangku dengan penuh sidik. Lalu kembali berbalik, dan melanjutkan jalannya.
Aku langsung memasukkan segalanya ke dalam tas dan ranselku dengan cepat. Lalu kemudian bergegas keluar dari sana. Sebelum aku menutup pintu, aku memandang kamar itu untuk terakhir kalinya. Aku tersenyum kecil. Lalu, aku berlari dengan semangat menuju ke haluan.
***
Nay sudah berdiri di sana dengan topi koboinya. Alasannya ya mana kutahu. Mau dicari tahu pun, sepertinya tak terlalu menarik untukku.
Kami pun berjalan bersama menuju ke akademi yang ada di seberang hutan. Kami berjalan beriringan. Kami semua bersenda gurau dengan gembira. Membicarakan apa yang mungkin akan terjadi nantinya. Segalanya terasa indah. Pemandangan gunung di depan kami sangat menusuk hatiku. Senang, maksudnya.
Saat kami tiba di depan gerbang, salah seorang guru di sana meminta kami untuk berbaris. Rupanya, ada pemeriksaan, “Tipe” seperti apakah kami ini.
“Ini agar kami mengerti apa yang harus kami lakukan untuk kalian!” Jawab guru itu sambil tersenyum garing.
Kami lalu memasuki sebuah alat yang terbagi tiga. Membuat barisan itu lebih cepat. Saat melewati itu, kami memasuki halaman depan sekolah. Kami lalu di suruh untuk pergi ke aula untuk masa orientasi. Setelah berkumpul, kami lalu mendengar pidato pak kepala selama beberapa jam. Lalu, setelah selesai, aku berjalan berdua dengan Nay.
“Wah, tadi itu panjang sekali!” kataku sambil menjulurkan lidah “Untunglah sekarang sudah selesai…”
Nay melirikku dengan pandangan yang kurang pas “Perilaku seperti itu tuh yang kurang aku suka.” Jawabnya pelan.
“Malah sepertinya aku yang lebih tidak suka diriku,” kataku sambil memandang ke depan “Hem, mungkin aku memang seperti itu ya…”
Kami lalu berjalan dengan bisu. Lalu kemudian, kami berpisah. Nay ke asrama perempuan, dan tentu saja aku ke bagian laki-laki. Ah, tempat tidur.
Aku mengamati sebentar gedung asrama ini. Rasanya, Déjà vu terus terasa sejak aku sampai di pelabuhan, namun, aku malas membicarakannya dengan siapa pun. Angin mulai mendesir memaksaku masuk ke dalam. Aku pun langsung masuk kedalam.
Ada 2 lantai ternyata. Nomor kamarku yang ku terima tadi saat upacara orientasi menunjukkan, bahwa aku mulai sekarang tinggal di ruang 807. Pasti lantai 2! Pikirku. Aku lalu mulai menaiki tangga dengan segan. Pandangan mata tak sedap mulai memperhatikanku dari balik tirai. Untungnya, ruang 807 berada tepat di depan mukaku.
Binggo! Teriakku dalam hati. Aku membuka pintunya dengan cepat. Hah? Lho? Terkunci? Ah! Aku lupa kuncinya!
“Aduh, aku taruh dimana ya? Aduh…” kataku sambil mengobrak-abrik tas dan ransel di depan kamarku. Ternyata, aku seharusnya mengambil kuncinya di resepsionis depan. Terpaksa aku harus kembali ke depan akademi sekali lagi.
Beberapa jam kemudian, aku sudah hampir kehilangan nafas. Berlari dengan ransel yang berat tidak terlalu mudah. Namun, aku lebih terkejut karena kamarku tidak dikunci. Setelah dibuka, akhirnya aku mengerti. Bahawa tiap kamar adalah sarang bagi 2 orang! Di kasur yang satu lagi, ada orang sedang tidur. Badannya besar… Aku lalu meletakkan ranselku di dekat kasurku sendiri. Namun, saat orang itu berbalik, itu sangat menambah level terkejutku.
“Lho, kalau tidak salah kamu yang tadi menabrakku di kabin ya?” tanyanya sambil bangkit. Keringat dingin mulai bercucuran. Itulah hujan lokal. Aku mengangguk dengan gemetar. Agh, dia pasti langsung menghajarku! Aku sudah diam menunggu itu terjadi. Namun, apa yang dia lakukan?
Dia menepuk pundakku “tenanglah sobat,” katanya pelan sambil tertawa-tawa. Aku mengangkat mukaku. Memandangnya dengan dalam. “Yah, ini pertama kalinya ada yang meminta maaf denganku. Kupikir, kamu akan lari seperti yang lainnya.”
Aku menatap matanya. Mukanya begitu memang. Namun, dari matanya, langsung terbaca. Ternyata dia punya aura yang lembut. “Kau… ternyata baik ya,” kataku takjub. Dia tersenyum. “Hei ayo kenalan,” katanya sambil mengulurkan tangannya “Aku Duchfare Dunkstein! Panggil saja aku Duke jika kepanjangan!”
Aku tersenyum bersinar. Ini juga pertama kalinya ada yang mau berkenalan denganku selain Nay. “Foster Alvaero,” balasku sambil membalas tangannya “Foster saja jika kependekkan!” kataku lagi garing.
Kami tertawa berdua. Terbahak-bahak walaupun sepertinya dia tahu bahwa itu garing. Untuk
pertama kalinya, aku merasa senang dengan alami.
***
Esoknya, Duke menindihku. Ceritanya sih, biar aku bangun. Walaupun kukira, dia mau membunuhku.
“Uuuuph!!...” jeritku pelan “Awas! Auuh, kamu mau membunuhku ya!?”
Duke tertawa terbahak-bahak “Dasar orang lemah!” Tawanya keras “Hayo, disiplin sedikit! Mari, kita segera menceburkan ke air!!”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Duke langsung menceburkan diri di bak mandi. Jelas terdengar dari air yang muncrat hingga keluar pintu. Aku lalu mengambil kacamataku. Lalu mengambil pakaian Duke untuk di jemur di luar. Saat membuka pintu ke beranda, burung-burung berterbangan. Sinar matahari menyelip masuk. Membuat bagian dalam kamar menjadi cerah. Aku tersenyum pelan melihat gunung besar di depanku masih berselimutkan kabut. Seakan-akan dia masih tidur.
Beberapa menit kemudian, Duke sudah selesai mandi. Langsung menyergap handukku begitu saja. Rambut jarumnya berubah menjadi loyo. Tertawa aku melihatnya. Berikutnya giliranku mandi. Tapi, melihat duke manghabiskan air panasnya, aku hanya diam terpaku…
***
Aku dan Duke berjalan bersama menuju ke papan pengumuman pembagian kelas. Disana, banyak murid berseliweran dan memenuhi depan papan tersebut. Namun, sepertinya, saat Duke mendekati mereka, semuanya menyingkir. Aku dan Duke dengan mudahnya, maju ke tengah.
“Hah? Kenapa ini?” tanyaku pelan. Duke diam saja. Dia lalu memperhatikan papannnya. Lalu berbalik.
“Kita berdua beda kelas. Kamu kelas 2 dan aku 4…” jawabnya pelan sambil menarik tanganku pergi dari situ. Beberapa meter dari situ, dia berhenti.
“Ada apa, Duke?” tanyaku pelan setelah dia melepaskan tanganku “A…apa kamu sering di begitu kan oleh yang lain?”
Duke terdiam “Tidak… Sudahlah, ayo kita masuk kelas…” katanya sambil berlalu, juga sambil menarikku. Aku hanya terdiam sambil mengerutkan kening.
***
Aku masuk kelasku sendiri. Alangkah terkejutnya aku melihat seseorang yang kukenal yang sedang duduk di belakang itu. Dia pakai seragam lagi.
“Nay! Untunglah kamu sekelas denganku!” kataku senang “Sendiri saja?”
Nay mengangguk pelan “Kenapa telat?” tanyanya sambl menggeser tasnya ke pinggir “Biasanya nyubuh?”
Aku menghembuskan nafas “Ada masalah…” jawabku asal “Biasa lah, bagaimana?”
Nay mengerutkan kening “Bagaimana apanya?” tanyanya balik. Aku garuk-garuk kepalaku karena gatal. “Ngomong-ngomong, kamu tipe apa?” tanyanya lagi. Aku makin garuk-garuk kepala.
“Tipe yang kemarin itu?” tanyaku pelan “Enggak tahu, memang sudah di sebarkan ya?”
“Iya lah!” kata Nay keras “Tuh di papan pengumuman juga ada!”
“Sudah jangan keras-keras,” kataku pelan “Lalu, tipemu apa?”
“Technique,” jawabnya pelan.
“Hah, nanti saja aku selidiki lagi deh…” kataku pelan “Eh, itu gurunya masuk.”
Kami langsung ambil posisi acak. Ada seorang guru laki-laki yang rambutnya pirang, dan kelihatannnya baik.
“Selamat pagi!,” teriaknya sambil tersenyum “Saya, akan menjadi wali kelas kalian mulai saat ini, jadi, nama saya adalah Klapper Zaart. Panggil saja Professor Klapper ya. Disini, bapak mengajar Ilmiah! Jadi siapkan penelitianmu untuk ini…”
Kami terdiam sebentar. Lalu, kami kembali menjadi ramai. “Untuk pertama ini, bapak hanya ingin, kalian bergabung, atau membuat sendiri Workshop kalian. Workshop, adalah tempat kalian dapat bersintesis, bersama-sama tim yang kalian buat. Nah, bapak beri waktu hingga minggu depan. Seminggu ini, silakan kalian bersenang-senang di tempat freshmen! Nah sebelum bapak akhiri, akan bapak jelaskan tentang perjalanan kita ini…”
Beberapa jam kemudian… “Jadi, setelah 4 tahun, kalian bisa pergi dari sini, dengan bebas. Oh jangan lupa, tipe kalian haruslah dihafal yah. Nah sekarang akan bapak absen…”
***
“Phew, akhirnya selesai juga…” kataku lega “Hei, Nay, bagaimana…?”
“Workshop? Mau bikin ah, namanya Workshop Netral!” katanya senang “Eh, Fo, mau ikut Workshopku enggak?”
Aku terdiam sambil tersenyum. “Ah aku pikir-pikir dulu deh…” jawabku sambil keluar dari sana. Nay hanya geleng-geleng kepala.
Aku berlari menuju ke papan pengumuman. Saking cepatnya, orang-orang mengira bahwa aku adalah angin. Dan akhirnya, lagi-lagi aku menabrak orang!
“Eh aduh maaf!” kataku gugup sambil memagang hidung dan menunduk. Orang itu menepuk pundakku lagi.
“Foster?” kata suara yang kukenal “Kenapa kamu…?”
Aku mendongak kepalaku. Glek! Duke rupanya! “Ah Duke, maaf lagi…” kataku kaget. Duke garuk-garuk kepala.
“Kamu buru-buru sekali,” katanya santai “Mau kemana?”
“Mau lihat tipeku,” jawabku sambil kembali berjalan.
“Eh tunggu, aku juga mau lihat!” Katanya seraya berlari mengikutiku.
Kami sampai di depan papan yang kini kosong. Hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang di sekitar situ. Kami lalu mendekati papan pengumuman itu.
“Coba, kucari,” kataku pelan “Hmm…”
Saat mencari nama di kelas 4, ada Duke. Lambangnya tangan.
“Oh, aku Strength ya?” katanya tenang “hoo… pertarungan tangan kosong, berkulit besi, dan tak perlu pakai senjata…”
“Kamu kelihatannya senang?” Sindirku. Duke hanya tersenyum lebar.
“Hayo lihat kamu apa?” kata Duke penasaran. Aku lalu berbalik ke papan pengumuman. Mencari namaku. Ah, itu dia!
“Apa? Buku?” kataku “Apa ini?”
“Maksudnya, kamu tipe Wisdom,” jelas Duke “Mereka pintar, hebat menggunakan strategi, dan bukulah senjata mereka.”
“Kamu tahu darimana?” tanyaku. Duke menunjuk keterangan di atas papan pengumuman. Aku tersenyum sempit.
“Satu tipe lagi, ya Tecnique ya…” lanjutnya “Pandai menggunakan segala jenis senjata, gesit, dan sangat mengandalkan skill mereka.”
Aku mengangguk-angguk. Lalu menunjuk Nama Nay “N.Z. Naya, Technique…” gumamku pelan. “Yah, Workshop, kamu tahu Workshop kan?” lanjut Duke kemudian. Aku mengangguk. “Minimal, semua tipe harus ada dalam tiap Workshop.” Lanjutnya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Oh iya, ngomong-ngomong, Duke, kamu sudah punya Workshop?” tanyaku. Duke menggeleng.
“Belum,” jawabnya enteng “Memang kenapa? Toh masih ada seminggu lagi.”
Aku terdiam. Ya, masih ada seminggu lagi. Tenang saja. Tidak buru-buru… Tidak Buru-buru…
“Ah, kalian berdua…” kata suara di belakang kami. Kami menoleh. Dia, orang berambut biru, bermata besar dan biru juga, laki-laki, membawa sarung seperti untuk pedang, dan kecapekan!
“Ada perlu apa?” tanyaku sambil berbalik, bersamaan dengan Duke. Orang itu kemudian berdiri tegak bagai tombak.
“Maaf menganggu,” kata orang itu, “Aku Levin, ada yang ingin aku tanyakan pada kalian!”
Aku dan Duke saling pandang. “Kau kenal dia, Fo?” Tanya Duke sambil melihatku. Aku menggeleng dengan cepat.
“Tak heran kalian tak mengenalku,” kata Levin “Mungkin aku kurang terkenal, tapi aku ini, Levin Valbelumona generasi ke-12.”
Kami terkejut. Levin segera menenangkan kami. “Tolong jangan keras-keras,” katanya pelan “Kalian Foster Alvaero dan Duchfare Dunkstein, Tipe Wisdom dan Strength kan? Makannya aku membutuhkan kalian yang memang sekamar…”
“Hem, lalu ada apa?” Tanya Duke sambil menyilangkan tangannya “Silakan Tanya yang kamu suka.”
“Duke, tenanglah!” kataku sambil mendekati Levin “Jadi apa yang ingin kamu tanyakan pada kami?”
“Sebenarnya,” kata Levin “Kalian… mau bergabung dengan Workshop-ku?”
Kami terdiam. Wah ada yang mengajak kami ikut dengan Workshop seseorang! Apa lagi dia, anak dari Raynaldy Valbelumona generasi ke-11 itu! Tapi, aku sudah menerima ajakan dari Nay untuk bergabung dengan Workshop-nya. Bagaimana ini?
“Baiklah, aku ikut denganmu,” jawab Duke santai. Aku terkejut. “Yah lebih baik begini daripada harus memaksa ikut dalam Workshop lain yang tak terlalu membutuhkan kita kan?”
Aku terdiam lagi. Waduh bagaimana ini? Haruskah aku mengikuti Levin, atau Nay? Wahai saudara yang kebingungan, pilih jalanmu… Agghh kata-kata itu garing sekali!
“Terima kasih banyak, Duchfare!” kata Levin senang.
“Duke, tepatnya,” kata Duke sambil mengangkat badannya “Panggil Duke, sekarang ini, ya?”
Levin mengangguk sambil tersenyum senang. Kemudian mereka memandangku yang sedang berputar-putar karena pusing.
“Bagaimana denganmu Foster?” kata Levin “Foster kan?”
Aaah… Bagaimana ini? Mana yang harus aku pilih? Ya Allah! Tolonglah akuuu!!
“Foster kau baik-baik saja?” Tanya Duke sambil menyernyitkan dahinya.
Levin tertunduk “Oh, sudah punya ya…?” kata Levin “Sudahlah, tak usah di paksakan, akan kucari yang lain saja…”
Aku langsung membatu. Untungnya tidak roboh. Dengan sekejap, langsung aku berbalik.
“Baik, baik!” kataku lantang “Aku ikut denganmu! Makasih sudah mengajakku!”
Semua terdiam. Hei, aku berkata terlalu kencang ya?
“Makasih sudah mau bergabung denganku Foster!” Kata Levin sambil memelukku erat-erat. Aku tersenyum tidak karuan.
“Tapi, apa perlu sekencang itu?” kata Duke sambil menyernyitkan dahinya.
“Baiklah, aku akan mengantar kalian ke Workshop-ku!” katanya bersemangat “Yuk, mari.”
Duke mengikutinya dengan santai. Sementara, aku berjalan dengan langkah super ringan seperti burung sambil terhenyak dalam-dalam. Apa yang harus kukatakan pada Nay nanti?
***
Levin mengantar kami terus hingga ke gedung Workshop. Kami melewati Workshop lain. Workshop milik Curbale, lalu… Workshop Nay?
“Ya, selain Workshop privat milik para guru, ada 8 buah Workshop lain yang di buat tanpa binaan mereka. Yaitu, di sini,” jelas Levin “Di lantai satu, ada Workshop milik kak Mike Curbale, lalu Workshop baru bernama Netral ini, dan ruangan di ujung sebelah sana, ruang Athanor.”
Aku dan Duke saling pandang “Athanor? Apa itu?” tanyaku.
“Itu untuk membuat semacam senjata, aksesoris, dan lain-lain...” jelasnya kemudian.
“Senjata apapun juga?!” Tanya Duke bersinar-sinar.
“Tenang Duke,” kataku pelan.
“Memang bisa,” kata Levin “Tapi, kita harus punya buku panduan membuatnya. Kita bisa membelinya di toko sekolah, atau meminjamnya dari perpustakaan.”
“Ooooh…” kataku dan Duke bersamaan.
“Mari, kita ke atas,” lanjut Levin sambil menaiki tangga. Duke mengikutinya. Tapi, aku terpaku memandang Workshop Netral itu…
“Foster! Ayo cepat, nanti ditinggal lho?” panggil Duke dari atas. Aku langsung sadar dari ketidak sadaranku.
“Ah, ya! Aku segera dating!” Balasku cepat sambil menaiki tangga. Tiba-tiba, pintu Workshop Netral terbuka.
“Wah berisik sekali ya,” kata Nay dari dalam Workshop itu “Tapi, suara itu… Foster?”
***
Levin mengajak kami ke pinggir sambil komat-kamit menjelaskan.
“Sebelah kiri adalah Workshop milik kak Bartheno Evestony, dibentuknya tahun kemarin,” jelas Levin. Lalu, dia menunjuk ke kanan “Sebelah kanan adalah Workshop milik kak Elle Vienna. Sebelah sananya lagi, adalah Workshop milik kita.”
Lalu, kami berjalan ke kanan. “Lalu, di lantai tiga ada apa?” Tanya Duke sambil menunjuk ke atas.
“Ke atas, ada 3 Workshop lagi. Workshop ke kiri adalah Workshop milik Kivara, lalu sebelah kananya berturut-turut Workshop Kak Mandaly, dan Workshop kak Sherry” jelasnya dengan cepat “Di atasnya lagi, adalah atap. Kita bisa bersantai di sana lho.”
“Wah kamu hapal sekali ya,” kataku pelan “Padahal, kita kan sama-sama baru pertama kalinya kesini?”
“Ya! Kupikir kamu cocok menjadi seorang pemandu wisata,” kata Duke semangat.
“Aku sudah hapal, soalnya, ayahku sering mengirimkan surat tentang ini semua sewaktu aku masih kecil,” jawab Levin malu.
“Jangan-jangan ayahmu…” kataku pelan “Pak Rendo Valbelumona XI?” Levin mengangguk “Tepat sekali! Wah, kamu tahu ayahku ya?” kata Levin senang. Duke menyernyitkan dahi.
“Oh, Alchemist profesional itu…” Kata Duke “Si terkenal itu ya? Hmm…”
“Ehm, ya,” jawabku gugup “Aku pernah mendengarnya…”
“Kalau begitu, kita pergi ke Workshop milik ayahku?” ajak Levin sambil berjalan.
“Mungkin maksudmu, ‘mantan’ Workshop ayahmu,” canda Duke garing.
Kami tertawa pelan. Tapi, aku berpikir lagi. “ Jadi ternyata…” pikirku “Dia adalah anak dari alchemist yang telah membuat…”
Kami lalu memasuki Workshop tersebut.
***
Workshop milik Levin, ternyata cukup berantakan. Gorden tertutup rapat, sehingga tempat ini cukup gelap. Cairan aneh terlantar dimana-mana. Peralatan-peralatan setengah utuh. Bau menusuk beredar dimana-mana. Benarkah ini Workshop milik ayah Levin?
“Wueeek!!” teriak Duke sambil berbalik “Kok, sepertinya tak terurus begini?”
“Yah, soalnya, sudah dua tahun Workshop ini tak pernah di gunakan lagi,” kata Levin “Terakhir kali, Workshop ini bangkrut karena tak ada anggota yang mau mengikuti Workshop ini lagi karena kurang bagus bagi mereka.”
“Oh begitu…” katakue pelan “Eh, kalau begitu, anggota Workshop ini… hanya kita bertiga??”
Levin mengangguk. “Akh, sudah ah!” kata Duke nafsu “Ayo kita bereskan tempat ini dulu!”
Kami mengangguk. Tapi, kami ternyata kurang profesional soal membersihkan.
“Aaaah, dasar daging segar!” kata Duke marah “Ok, akan kujelaskan cara membersihkan yang benar! Pertama, bersihkan sesuatu dari atas dulu! Seperti atas rak dan lantai atas!”
“Me, mengerti,” kataku dan Levin bersamaan.
“Kedua, jangan terlalu banyak menggunakan air ketika mengelap sesuatu!” kata Duke keras.
“Ba, baik!” seru Levin. Aku menyernyitkan dahi.
“Hah? Rasanya cara ini pernah kudengar dimana gitu…” gumamku pelan.
“Hey, sedang apa kau!?” benak Duke padaku “Ayo, teknik terakhir, bersihkan sisanya dengan benar! Jangan sisakan kotoran sedikitpun!!”
Aku terkejut. “O, oke!” kataku dan Levin bersamaan sambil berusaha membersihkan seperti yang Duke suruh.
“Jangan-jangan ini berasal dari…?” dugaku pelan.
“………”
“………”
“………”
“………”
“………!”
Cling-cling, ruangan ini bersinar seperti gelas sekarang.
“Whew, kupikir kalau hanya bertiga, mustahil melakukannya…” kata Levin pelan.
“Kalau kuperhatikan, tempat ini bagus juga ya?” kataku sambil celingak-celinguk kesana-kemari.
“Makannya, percayalah padaku,” kata Duke senang “Sekarang, ayo kita harus mengatur letaknya ulang. Aku akan mengambil peralatan labnya dulu di gudang ruang guru, jadi tunggu sebentar ya.”
Lalu kemudian, Duke berlalu pergi. Kemudian, aku mendekati Levin.
“Levin, kita ke atas sebentar yuk,” ajakku “Kalau tadi aku lihat, ada TV kan?”
Levin terkejut “Wah benarkah?” kata Levin senang “Wah aku tak menyangka ayahku suka nonton TV!”
“Kau berlebihan…” kataku pelan.
Kami lalu menaiki tangga ke atas. Kami lalu duduk-duduk di atas.
“Levin, ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” kataku sambil menoleh padanya. Levin menoleh.
“Soal apa?” tanyanya.
“Pertama-tama, aku ingin tanya sedikit tentang Peraturan Workshop…” kataku pelan “Bukannya satu Workshop syaratnya minimal punya 4 orang kan?”
“Oh soal itu,” kata Levin “Wah, kau benar-benar tipe Wisdom! Benar, minimal 4 orang tiap Workshop. Tapi, kakek memberiku kesempatan agar setidaknya mengumpulkan 3 saja!”
Aku terbelalak. “Lho? Memangnya kakekmu siapa?” tanyaku kaget.
“Wah memang aku tertutup sih ya…” kata Levin sambil tersenyum “Kakekku itu, ya kepala sekolah akademi ini!”
Hampir saja otakku meloncat keluar dari kepalaku. Mataku berputar beberapa kali. Overlap kelopak mata hampir 10 kali. “Benarkah!?” seruku kaget “Wah, keluargamu edan sekali…”
“Hahaha…” Levin tersenyum senang “Begitulah keluargaku.”
Aku terdiam sebentar. Berarti aku mesti hati-hati nih, sama anak ini!
“Tapi, jangan khawatir, Fo,” kata Levin lagi “Aku bukanlah anak yang merengek-rengek jika di jahili, jadi tenang sajalah.”
“Oh begitu,” kataku pelan “Lalu, kamu mau menceritakan ini pada Duke?”
Levin menghela nafas “Yaa tentu saja,” katanya sambil membalik “Kalian kan teman pertamaku lho…” lanjutnya sambil turun ke bawah karena Duke membuka pintu.
“Levin…?” panggilku pelan. Levin terus ke bawah menyambut Duke. Aku terdiam lagi. Teman pertama? Maksudmu, kamu tak pernah punya teman sebelumnya? Masa sih…”
***
Setelah beberapa jam setelah itu, kami telah mendekor ulang Workshop ini hingga tampak lebih indah di bandingkan sebelumnya.
“Wah, ini hebat Duke!” kata Levin kagum “Terima kasih banyak dengan bantuanmu!”
“Yah, lengkap dengan Panci ini dan juga tongkat pengaduknya,” kataku pelan sambil mengacungkan tongkat pengaduk besar. Lalu aku menoleh ke sampingnya “Ada komputer lagi!”
“Haho, itu adalah properti sekolah yang kutemukan di bak sampah!” kata Duke senang “Peralatan-peralatan ini untungnya utuh semua!”
Aku dan Levin memperhatikan peralatan lab itu “Duke, yakin kamu bukan mengambilnya dari Lab?” Tanya Levin bingung.
“Tau, seseorang memberinya padaku di belokan sana,” kata Duke “Nah, tugas kalian tinggal mencari buku-buku untuk membuat sesuatu kan?”
“Yep,” kata Levin senang “Eh tunggu, ada yang datang,” lanjutnya sambil membuka pintu. Ah, bu wakil kepala…
“Maaf mengganggu…” kata Bu Betty “Ah, kulihat kalian sudah ada tiga orang?”
“Ya, bu,” kata Levin senang lagi “Seperti kata kakek!”
“Kakek? Ah, aku mengerti…” kata bu Betty pelan “Hmm, karena kalian membuat Workshop baru, kalian memberi nama apa?”
Aku dan Duke saling pandang sambil tersenyum. “Workshop Valbelumona, bu!” teriak Duke sambil tersenyum lebar. Levin terkejut.
“Oh, baik,” kata bu Betty “Karena kalian membuat Workshop baru, kami selalu memberinya tes. Kalau berhasil, kalian akan diakui sebagai salah satu Workshop disini.”
Kami langsung lesu. “Ayolah anak muda!” kata bu Betty kesal “Ibu hanya meminta di buatkan sesuatu, hasil dari Workshop kalian ini! Tidak terlalu sulit kan?”
Kami mengangkat kepala kami. “Kami harus membuat apa, bu?” tanyaku pelan sambil mendekati Levin.
“Tunggu sebentar,” katanya sambil berusaha mengambil sesuatu dari balik mantelnya. Lalu, dia mengeluarkan suatu buku dari baliknya, dan memberikannya pada Levin “Nah, buatlah benda yang tertulis dalam buku ini. Kami akan memberi kalian kesempatan selama seminggu. Semoga berhasil. Permisi…” lanjutnya sambil berlalu. Kami mendekati Levin.
“Oooh! Resep baru!” teriakku senang “Aku akan coba membuatnya ah!”
“Kira-kira apa ya, yang bisa kita buat dengan ini?” Tanya Duke penasaran “Wah pakai bahasa inggris lagi…”
“Hmm, kita coba lihat dalamnya ya,” kata Levin sambil membawanya ke meja dekat panci.
“Hei Levin, aku bisa bahasa inggris kok,” kataku “Kesinikan.”
Aku lalu mengambil bukunya dari Levin dengan cepat. Lalu membacanya.
“Cara membuat Basic Potion yang mudah,” kataku “Hmm? Basic Potion?”
“Jelas mudah?” kata Duke santai.
“Masa? Kalau begitu kenapa kita di kasih waktu selama seminggu?” Tanya Levin bingung.
“Coba kita lihat,” kataku sambil membaca cepat “Peralatan yang dibutuhkan, pisau duri, 2 buah Tabung reaksi, dan sebuah pengaduk.”
“Hanya begitu?” Tanya Levin sambil mengambil barang yang di sebutkan tadi.
“Ehm, belum selesai,” kataku “Bahan-bahannya adalah Fiber Root, Normal Mushroom, dan Herb.”
“Apa itu?” sungut Duke murung “kita harus mencarinya dimana?”
“Mene-ketehe,” kataku sambil membaca lanjutannya “Oh, disini juga ada bahan alternatif lainnya.”
“Oh, apa itu?” kata Levin penasaran.
Aku diam sebentar sambil menyernyitkan dahi “Yang sebelah sini makin nggak jelas…” kataku pelan “Baiknya, kita pakai bahan ini sajalah…”
Kami semua menghela nafas bersama. “Nah kita harus mencarinya dimana?” Tanya Duke pelan. Tiba-tiba Levin teringat sesuatu. “Ah iya!” katanya semangat “Kalau tidak salah, ayah pernah bilang, tentang buku panduan bahan-bahan itu!”
Kami memandang Levin. “Ayahmu menulis yang begituan juga?” kataku kaget.
“Dasar terkenal…” kata Duke takjub.
Levin lalu segera memeriksa rak buku dengan cermat. Satu-persatu dia melihatnya dengan rinci. Tidak sampai satu menit dia mencari, bukunya sudah ada di tangannya.
“Ini dia!” kata Levin sambil meletakkan buku yang diselimuti oleh debu yang langsung beterbangan itu “Coba kita buka…”
Levin membukanya dengan hati-hati. Bukunya sudah kusam, banyak lembaran yang sudah lepas. Dan sepertinya, di sentuh sedikit, langsung berubah jadi debu. Begitu dibuka, debu-debu langsung terbang bebas ke angkasa. Dan memberi kenangan bersin pada kami.
“Hiee!” Teriak Duke kaget “Letakkannnya pelan-pelan saja dong!”
“Iya, maaf,” katanya sambil kembali membukanya. Isinya sebagian besar adalah catatan-catatan yang kurang penting bagi kami. Bagian pengetahuannya ada di bagian belakang.
“Eeeh, ini dia,” kata Levin sambil menunjuk lembaran itu. Kembali debunya beterbangan “Sepertinya kita harus berkeliling ke hutan-hutan ya?”
Kami menghela nafas bersama. “Ternyata tidak mudah…” keluh Duke.
“Yang bilang mudah kan hanya kamu!” kataku sebal “Lalu, ada catatan tentang habitatnya tidak?”
Levin mencari ke sana-sini. Menggelindingkan bola matanya ke atas kebawah, kekiri dan ke kanan. Lalu main serong.
“Nah ini,” kata Levin “Herb biasanya di temukan di bawah tanah. Butuh alat untuk mencarinya. Bisa ditemukan di kubah Bio. Kemudian Fiber Root, akar serabut. Sangat mudah di temukan. Kebanyakan terdapat di Hutan timur. Terakhir, Normal Mushroom ada di lapangan Everee, tempat kita biasa olahraga…”
“Hem, detail juga…” kataku “Hebat, boleh aku menjiplaknya?”
Levin menutup bukunya perlahan. “Boleh, hati-hati sobek ya?” kata Levin sambil menyerahkan bukunya perlahan-lahan. Aku meloncat kegirangan.
“Hmm, sudah sore nih,” kata Duke sambil melihat jamnya “Foster! Kita harus beres-beres kamar kita untuk besok lho?”
Aku langsung mundur dua langkah sambil menepuk dahi “Oh benar! Aku lupa!” seruku.
“Oh kalian ada urusan ya?” Tanya Levin “Kalau begitu kalian pergi saja, sisanya biar kuurus deh!”
Kami memandang Levin. “Benarkah tak apa?” tanyaku khawatir.
“Sudahlah,” kata Duke sambil menarikku “Percayalah sedikit pada teman. Nanti kamu tak punya teman lho?”
“Oh, ya sudah,” kataku sambil berjalan keluar “Kalau ada sesuatu, bilang saja ok?”
Levin mengangguk. Kami lalu berlalu keluar dari sana. Otomatis lampu disana menyala. Levin berdiri sendirian. Lalat-lalat mulai menyerobot masuk, mengelilingi Levin. Levin terdiam.
“Be, benarkah…” gumamnya pelan “Mereka… Apakah benar…?”
Levin berjalan ke jendela. Menatap matahari yang mulai terbenam. Dia terdiam sejenak sambil bergumam lagi.
“Ayah…” katanya pelan “Aku… akhirnya sudah dapat…”
Beberapa menit Levin memandang ke luar jendela. Lampu-lampu di sekitar akademi mulai dinyalakan. Siswa-siswa mulai menghilang. Bayangan kian memanjang. Hingga menyelimuti seluruh pulau. Levin tetap terdiam. Memandangi bulan yang muncul perlahan. Dia tersenyum. Air mata kebahagian kemudian turun melalui pipinya dengan kecepatan seekor siput. Bayangan kini menyelimutinya.
***
Hari itu, Kelas berakhir dengan biasanya. Kecuali, tentang Nay.
“Hey Foster,” kata Nay sambil mendekat padaku. Pusingku mulai mengunjugiku lagi.
“Ada apa?” tanyaku pelan.
“Soal Workshop kemarin, bagaimana?” Tanya Nay “Mau ikutan dengan Workshopku? Kemarin aku sudah membuat Workshop baru!”
“Be… begitu?” kataku gugup “Eee… Maksudku, bagus!”
“Hem, ya,” gumamnya “Walaupun, sepertinya Workshop baru memang harus dites ya.”
Aku melirikkan mataku padanya “Disuruh ngapain?” tanyaku.
“Buat barang,” katanya “Jadi tawaranku diterima enggak?”
Aku bimbang. Cemas, takut, dan rasa bersalah teraduk menjadi satu. Semuanya berdansa dengan sangat indah di kepalaku. Nay memandangku sebentar.
Nay mengangkat alisnya “Jangan-jangan, kamu sudah punya Workshop ya?” tanyanya langsung menembus badanku.
“Eh…” kataku pelan “Maaf, Nay…”
Nay diam saja. Dia lalu berbalik pergi. Entahlah seperti apa wajahnya saat itu.
“Apa aku salah ya?” pikirku pelan. Saat aku melihat ke depan, Levin melambaikan tangannya dari balik pintu. Aku langsung mendekatinya.
“Ada apa, Levin?” tanyaku sambil menghampirinya.
“Soal tes penerimaan itu lho,” kata Levin “Bagaimana cara kita mencari bahannya? Alatnya saja tak ada…”
Aku terdiam “Hem, benar juga sih…” kataku pelan “Bagaimana kalau kita pergi ke guru Naturologi? Kalau tak salah, namanya bu Milda. Benar?”
“Bu Milda?” kata Levin pelan “Aku ragu dia bakal memberikan jawabannya…”
“Hah? Kenapa tidak?” tanyaku heran.
“Yah, jangan yah,” kata Levin sambil geleng-geleng “Yang lain?”
Aku terdiam lagi. Kali ini berpikir “Mungkin ke pak Klapper, guru Ilmiah dan Persintetisan sekaligus, wali kelasku, bisa membantu!” kataku dengan penekanan di kata ‘wali kelas’.
Levin tersenyum manis “Bisa dicoba,” katanya senang. Kami lalu menyusuri lorong menuju ruang fakultas.
Di depan ruang pak Klapper, kami mengetuk pintunya. Pak Klapper menyuruh kami masuk beberapa saat setelah itu.
“Oh ada apa, Alvaero?” Tanya pak Klapper sambil tersenyum “Oh, dan satu lagi, Valbe.”
Kami mengangguk dulu sebentar. “Maaf, pak Klapper, ada yang ingin kami tanyakan…” kataku pelan.
“Oh? Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?” Tanya pak Klapper.
“Begini, kami membuat Workshop baru, jadi ada tes untuk penerimaan itu,” jelasku pelan.
“Kami disuruh membuat sebuah benda,” lanjut Levin “Tapi, kami tak punya alat untuk mencari sesuatu.”
“Oh, jadi kalian ingin bertanya, bagaimana cara kalian mencari bahan-bahannya sendiri ya?” kata pak Klapper. Kami mengangguk pelan.
“Ah, kalian adalah kelompok kedua yang datang kesini,” katanya pelan “Kalau begitu, bapak akan berikan beberapa bahan saja.”
Kami bersorak. “Apa itu pak?” tanyaku penasaran. Pak Klapper berbalik. Menuju ke lemari yang berantakan. Beberapa saat kemudian pak Klapper memberi kami sebuah jamur dan sebuah sekop.
“Hah?” kataku pelan “Darimana bapak tahu kami akan membuat sebuah Potion?”
Pak Klapper tersenyum “Tentu bapak tahu!” katanya “Soalnya, sewaktu bapak masih disini, bapak juga membuat Workshop sendiri. Bersama dengan Rendo!”
Kami terkejut. “Ayah!?” seru Levin kaget “Bapak berbagi Workshop dengan… ayah?”
“Benar!” serunya “Kamu kan adalah anaknya. Tentu saja dia mewariskan Workshopnya kepadamu.”
“Oh, jadi karena itu, bapak tahu banyak,” kataku pelan.
“Ya, sekarang, cepatlah, buat kembali Workshop kalian dengan maju!” kata Pak Klapper senang.
Kami lalu berjalan keluar “Terima kasih, pak Klapper!” kata kami bersamaan “Permisi!”
Pintu pun tertutup rapat. Kami langsung berlari menuju ke Workshop kami. Pak Klapper tersenyum melihat kami.
“Dia benar-benar anakmu ya…” katanya “Sherry…”
***
Duke sudah berdiri dengan menyilangkan tangannya dengan muka membara.
“Kalian terlambat 14 menit!” seru Duke marah “Kemana saja kalian?”
“Kami baru saja mencari cara untuk mencari bahan-bahannya dengan alat!” balasku “Kamu sendiri, masa berdiri begini sejak tadi?”
“Oh? Baguslah kalau begitu!” kata Duke senang “Ya sudah, ayo kita ke hutan timur sambil membawa sekop itu!” lanjutnya sambil menarik kami keluar.
“He, hei tunggu!” kataku keras “Simpan jamur ini dulu!”
***
Kami berjalan terus menuju ke hutan selatan. Untungnya hari tak terlalu gelap. Kami mulai menyusuri hutan itu.
“Nah, lalu?” kataku pelan “Cari bagaimana?”
“Kamu kan bawa sekop?” Tanya Duke “Menurut guruku, carilah tempat yang ada simbol lobak. Disitulah kita dapat menggali sayuran dengan sekop.”
“Begitu?” kata Levin pelan “Guruku belum ngomong apa-apa sih.”
“Nah, lalu kira-kira,” kataku “Dimana adanya simbol itu ya?”
“Sudah, berpencar saja…” kata Levin “Eh, tunggu, disana itu… apa ya?”
Kami menoleh ke tempat Levin menunjukkan telunjuknya. Gambar lobak tergambar di sebuah papan. Dan dibawahnya, tanah gembur yang siap di gali!
“Oh bagus!” kataku pelan “Ini sih, terlalu mudah…”
“Peduli amat deh,” kata Duke sambil mengambil sekopnya dari tangan Levin. Langsung berlari kesana.
Beberapa jam kemudian, kami lelah karena selama kami menggali, rupanya tak ada satu pun sesuatu yang keluar.
“Wah salah aku tidak menanyakan soal cara mencarinya,” kataku sambil mengelap keringatku “Bagaimana ini?”
“Te, teruskan?” kata Levin pelan “Istirahat dulu plis…”
“Hey berhentilah bertingkah seperti anak kecil!” seru Duke sambil berdiri “Ayo! Gali lagi! Lagi!”
“Ayolah Duke, capeklah sedikit…” kataku pelan.
“Mana bisa capek dipaksa!” seru Levin kaget. Tiba-tiba, terdengar suara dari semak-semak.
“Hei, ada seseorang disitu?” Tanya Duke keras. Tiba-tiba bunyi itu terhenti.
Aku dan Levin saling pandang. Semoga yang muncul itu bukan hantu!
Tapi, yang muncul adalah sosok perempuan! Rambutnya panjang acak-acakan, dan lagi, berwarna biru!
“Gyaaaaaaaaa!!” teriak aku dan Levin bersamaan. Berusaha pergi dari tempat itu. Namun, Duke menarik kami.
“Oi, tunggu, penakut!” serunya “Perhatikan dulu dengan cermat! Barulah lari!”
Kami berhenti panik. Kami menoleh padanya. Tunggu… dia kan manusia!
“Maaf, sepertinya aku mengagetkan kalian ya?” Tanya perempuan itu sambil menggaruk kepalanya. Cantik sekali!!
“Kau… Siapa?” tanyaku setelah kami menyadari bahwa dia manusia. Asli.
“Aku Stella Cyrus Tamara,” jawabnya sambil keluar dari semak-semak “Aku masih kelas satu kok…”
“Ho, kalau begitu sama dengan kami!” kata Duke senang “Levin?”
Levin terkejut “Kenapa aku?” tanyanya “Ada ap…”
“Ajak dia menjadi anggota Workshop kita!” bisik Duke pelan “Ayo! Kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali!”
Aku tersenyum garing sambil mengerutkan kening. Dia lalu berjalan ke arah kami.
“Kalian sepertinya sedang kesulitan ya?” tanyanya mulus “Ada yang bisa kubantu?”
Aku mendekatinya “Ah, anu, Stella…” kataku malu.
“Oh bukan, bukan,” katanya sambil menghentikanku “Panggil aku Cyrus saja. Stella itu… rasanya aneh…”
“Oh, baik, Cyrus,” lanjutku kemudian “Sebenarnya, kami kesulitan… em cara mencari lahan lobak dimana ya?”
Levin dan Duke langsung cekikikan sendiri. Aku mengerutkan kening. Salah ya? Pikirku.
Cyrus tersenyum “Tak heran kalian salah,” katanya “Seharusnya sebelah sana lho…” lanjutnya sambil menunjuk ke lahan kosong di sebelahnya. “Sebenarnya yang ini juga merupakan lahan juga. Cuma, sejak kemarin, lahan ini sudah kosong.”
Kami terpaku selama beberapa detik. Kami kemudian dengan sendirinya berjalan menuju lahan itu dengan menunduk. Tiba-tiba, Cyrus memanggil kami.
“Eh anu…” panggilnya pelan. Kami menoleh.
“Ada apa?” Tanya Levin sambil berbalik.
“Be, begini,” kata Cyrus gugup “Sebenarnya… Apa kalian sudah mempunyai… Workshop?”
Eaaaa!! Teriakku dalam hati. Tanpa di ajak, mangsa pun dating sendiri. Padahal, tadinya kami mau memaksa dia ikut dengan kami. Atau, jangan-jangan dia menawari kami agar masuk ke Workshop miliknya?
“Sudah,” kata Levin tegas “Maaf, kami tak bisa ikut Workshop milikmu…”
“Oh begitu…” katanya pelan “Wah maaf sudah mengajak kalian yang tidak-tidak.” Katanya lagi. Kali ini, dia langsung menghilang memasuki hutan. Kami bergidik.
“Sebenarnya, dia siapa sih?” tanyaku heran. Yang lain menggeleng.
Kami lalu menggali dengan bersemangat hingga jarum panjang mengingatkan kami bahwa jam sudah menunjukkan pukul 6 sore dan untungnya, kami sudah menemukan semua bahan yang kami butuhkan!
“Phew, akhirnya selesai,” kataku sambil berjalan menuju ke asrama laki-laki.
“Ya, aku belum shalat deh…” kata Duke pelan.
“Kita bisa melakukannya bersama-sama,” kata Levin “Sekarang, kita harus meletakkan barang-barang ini dulu ke Workshop.”
Kami lalu segera berlari menuju Workshop. Tanpa sadar, seseorang mengintai kami sejak tadi. Sejak saat itulah, kami mulai dimata-matai oleh Seseorang!
***
Satu minggu sudah berlalu. Hari ini adalah hari pengecekan. Subuh-subuh, kami bertiga sudah berdiri di depan panci alkemi. Bahan-bahan sudah tersedia di meja. Aku membacakan cara membuatnya.
“Ok, setelah menjadi lembek, potong menjadi 10 bagian. Biarkan hingga mendingin, lalu…” perintahku sambil membaca bukunya dengan cermat. Levin dan Duke bekerja dengan sekerasnya.
“Phew, apa segini cukup?” Tanya Levin sambil mengeluarkan cairan yang diperas dari Fiber Root.
“Oh, kasih saja sedikit air agar dinginnya lebih,” kataku “Duke, coba berikan bumbu Herbnya ke atas jamurnya. Sedikit-sedikit ya.”
Duke mengacungkan jempolnya. Lalu kemudian mengambil serbuknya dari atas meja. Kami mengerjakannya dengan cepat. Karena, 5 menit lagi, bu Betty pasti dating.
Kami lalu memasukkan semuanya ke dalam panci. Lalu kami semua berdiri di depannya.
“Nah, sekarang tinggal tunggu sekitar2 menit hingga cairannyacukup kental agar dapat diambil, lalu di masukkan kedalam botol,” kataku.
“Wah untung ada kamu ya,” kata Levin senang “Kalau tak ada, aku tak tahu bagaimana masa depan Workshop ini.”
“Bahkan aku sendiri pun tak bisa melakukan ini,” kata Duke “Wah staminaku hampir habis nih.”
“Ah sudah kuduga bakal begini,” kataku sambil berbalik ke meja peralatan “Oh iya, tadi aku sempat membuat ini.”
“Apa itu?” Tanya Duke. Aku lalu memberikan kedua tabung reaksi berisi cairan hasil percobaanku kemarin. Tanpa ada guide book!”
“Pembangkit stamina! Cobalah ok?” kataku sambil tersenyum. Tiba-tiba saja, pintu diketuk. Aku menghampirinya. Sementara, Duke dan Levin merasa bakal ada sesuatu yang buruk bakal terjadi. Mereka pun meminum cairan itu.
“Oh, bu Betty!” kataku “Tepat sekali!”
“Selamat siang,” katanya “Jadi, bagaimana dengan tes yang ibu berikan?”
“Oh, sudah jadi,” kataku “Silakan masuk… lho?”
Aku kaget melihat Duke dan Levin yang pingsan. “Ah mungkin mereka kelelahan, sini, biar saya saja yang memperlihatkannya.”
Aku lalu membawa bu Betty ke depan panci. Aku lalu membawa sebuah botol, lalu mengambil air dalam panci itu, lalu kemudian menyerahkannya pada bu Betty. Bu Betty langsung meminumnya. Aku memainkan jariku dengan cepat. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Apakah enak tidak ya?”
“Hmm?” katanya pelan “Ah, lumayan… baiklah, Workshop ini diterima!”
Aku langsung bersorak bahagia. Duke dan Levin langsung terbangun dari pingsannya.
“Eeekh? Berhasil?” kata Levin tak percaya “Yaaay!!”
“Bagus kawan-kawan!” kata Duke senang “Kita dapat menggunakan ini sepuasnya!”
“Oh baiklah kalau begitu,” kata bu Betty sambil melangkah keluar “Aku akan melapor pada pak kepala soal ini. Silakan nikmati Workshop ini. Jagalah kebersihannya. Selamat tinggal.” Lanjutnya sambil keluar dari sana.
Kami lalu bersorak lagi.
***
Di luar, sebelum turun tangga, bu Betty bertemu dengan seseorang.
“Nah bagaimana?” kata bu Betty “Sudah kubilang, itu cukup mudah untuk mereka…”
“Tak apa,” kata orang itu “Aku memang berharap agar Workshop itu berhasil lulus.”
“Ya aku mengerti,” kata bu Betty “Karena itu kan, kamu merekomendasikan agar ibu memberi mereka tugas dengan membuat benda termudah. Benar?”
“Ibu berlebihan!” kata orang itu “Saya hanya melakukan, yang mestinya dulu kulakukan…”
***
Di dalam Workshop, kami berpesta. Menggulingkan segala macam benda. Untungnya, Levin cukup cekatan untuk menangkap mereka semua.
“Oh iya, ngomong-ngomong,” kataku pelan “Aku buat obat baru loh! Mau mencobanya?”
Duke dan Levin langsung membatu. “Oh lihat!” kata Levin sambil melihat jamnya “Sudah siang! Aku harus segera menemui kakek untuk laporan siang! Jadi permisi!” katanya sambil pergi dari situ.
“Oh yeah! Aku juga!” kata Duke sambil melesat pergi “Aku ada janji untuk ke pantai Sunset bersama teman sekelasku. Jadi Dadah!” lanjutnya sambil membanting pintu dengan keras. Aku hanya menyernyitkan alisku.
“Kenapa mereka?” kataku pelan. Lalu kemudian, aku mencoba membuat sesuatu lagi.
Sementara itu, Levin dan Duke berjalan sebentar keluar.
“padahal, Foster itu kan orangnya baik,” kata Levin.
“Kenapa, buatannya rasanya busuk begitu ya…?” lanjut Duke sambil muntah-muntah.
Setelah itu, kami sekarang menggunakan Workshop itu hingga kami lulus. Walaupun, sepertinya, tes di Workshop kami lebih mudah di bandingkan tes di Workshop lainnya. Tapi, kini, kami sudah mempunyai Workshop sendiri. Duke, Levin, dan aku. Kuharap, kami bisa tetap bersama selamanya…
***
To Be Continued…